Inovasi Pembelajaran: Mewujudkan Potensi Siswa Melalui Penerapan Kurikulum Merdeka

Oleh Hans Chandra, Guru Penggerak & Co Kapten Belajar.id NTT

g. Membina Hubungan yang Mendukung

Guru yang berperan sebagai fasilitator juga berperan dalam membina hubungan positif dengan siswa. Hubungan ini didasarkan pada kepercayaan, dukungan, dan komunikasi terbuka, di mana siswa merasa didengarkan dan didukung. Ada beberapa cara guru membina hubungan ini ada diantaranya Pertama Menjadi pendengar yang aktif dan menyediakan waktu untuk konsultasi di luar jam pelajaran, sehingga siswa merasa bahwa guru peduli dengan perkembangan mereka.Kedua Membantu siswa mengatasi tantangan belajar melalui dukungan emosional dan motivasional, bukan hanya fokus pada aspek akademik.Ketiga Mengembangkan budaya kelas yang inklusif, di mana semua siswa merasa diterima dan dihargai, terlepas dari latar belakang atau kemampuan mereka.Hubungan yang mendukung ini menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi siswa untuk mengekspresikan diri, mengambil risiko dalam belajar, dan tumbuh secara holistik.

 

Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Kurikulum Merdeka

Penerapan Kurikulum Merdeka merupakan sebuah inisiatif besar yang bertujuan untuk memberikan lebih banyak fleksibilitas dan kemandirian dalam proses pendidikan. Namun, implementasi kurikulum ini menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam konteks keterbatasan infrastruktur, kesiapan guru, dan perubahan pola pikir dalam pendidikan. Tantangan ini berbeda di berbagai wilayah di Indonesia, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan atau daerah terpencil. Ada beberapa cara untuk mengidentifikasi tantangan dalam penerapan Kurikulum Merdeka dan solusi yang dapat diambil untuk mengatasinya di antaranya:

  1. Keterbatasan Infrastruktur di Beberapa Daerah
BACA JUGA:
PDIP memilih, Indonesia memilih "Ganjar for Indonesia"

Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah keterbatasan infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang atau terpencil. Tantangan ini meliputi:Pertama Kurangnya akses ke teknologi dan internet. Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran berbasis proyek, teknologi, dan penggunaan sumber daya digital. Namun, banyak sekolah di daerah terpencil yang tidak memiliki akses yang memadai ke internet atau perangkat teknologi yang diperlukan, seperti komputer, laptop, atau perangkat pembelajaran lainnya.Kedua Fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Beberapa sekolah di daerah pedesaan masih kekurangan ruang kelas yang layak, perpustakaan, atau laboratorium yang mendukung penerapan metode pembelajaran inovatif yang ditawarkan Kurikulum Merdeka.Ketiga Sumber daya belajar yang terbatas. Kurangnya buku, materi digital, atau alat bantu belajar yang mendukung pembelajaran berbasis proyek dan metode kreatif juga menjadi masalah di beberapa sekolah.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More