Lembata: Lembah Tangisan
Panorama buram tanah Lembata, sehingga dijuluki Negeri Kecil Salah Urus, oleh penulis produktif RP. Steph Tupen Witin, SVD; begitu buram sehingga menaikkan adrenalin para mahasiwa untuk terus demo berhari-hari di POLDA NTT, menimbulkan tanda tanya ada apa di nagi Lembata? Mengapa negeri yang mayoritas penduduknya beragama Katolik ini tampak bagai Babel oleh anak tanahnya sendiri?
Pertanyaan ini muncul di ujung ziarah hari ini, karena idealnya setiap orang yang dibaptis, di-inkorporasi dalam Tubuh Kristus dan dianugerahi Roh Kudus, berkewajiban menjadi misionaris di tempat ia berada, entah itu di ruang privat seperti keluarga, maupun di ruang-ruang public, seperti taman pendidikan, kantor-kantor pemerintahan maupun lembaga legislative. Di ruang-ruang itu, seorang kristiani tidak hadir seperti mummi yang berjasad namun tidak ber-roh; juga bukan seperti hantu yang hanya ber-roh tapi tak berjasad. Di ruang-ruang seperti itu, ia hadir utuh sebagai seorang insan kristiani yang hidup, yang diberi kepercayaan untuk ikut menyelamatkan banyak orang, sehingga diandaikan cara pandang dan cara kerjanya pasti dijiwai oleh spiritualitas dari akar iman tempat ia bertumbuh. Sebab seperti itulah habitus kristiani:”Marilah pergi, kita diutus”.