Lembata: Lembah Tangisan
Saya melihat gubernur Frans menyimaknya dengan tekun, sambil sedikit menggaruk kepalanya. Namun saya yakin gubernur mengamini pernyataan profetis Uskup emeritus ini, karena NTT termasuk salah satu propinsi yang terkorup, kala itu.
Kotbah singkat namun berenergi ini kembali terngingang hari ini, saat menenun kembali gema injil yang berkumandang pada Pesta Santo Matius Rasul, hari Senin silam. Kotbah ini membangkitkan memori karena Yesus memanggil dan meminta Matius untuk mengikuti Dia, bukan di saat sedang membersihkan jala, melainkan justru di saat sedang berkubang di meja cukai, bertransaksi untuk mendapatkan lendir rente. Bagi kalangan Yahudi, pemungut cukai digolongkan sama dengan para pelacur dan perempuan sundal, karena kendati berbeda profesi, namun sama-sama menjual kehormatan diri kepada pihak lain demi mengais hidup dan memenuhi isi dompet.
Lebih dari itu, kotbah Uskup yang selalu berkopiah merah itu, membangkitkan memori, karena di Pulau Lembata kini sedang viral kasus Awalolong dan kasus Wei La’in. Kasus-kasus itu mengambang kepermukaan lagi-lagi karena disinyalir memliki potensi korupsi, yang bukan saja dilakoni oleh pelaku tunggal, melainkan berjamaah, hasil perselingkuhan atasan-bawahan, eksekutif-legislatif, saat bergainning di meja cukai. Belum lagi kasus-kasus lain, teristimewa maraknya HIV-Aids, kehamilan anak-anak di bawah umur, kekerasan rumah tangga, maupun pemerkosaan anak, sebagaimana dikisahkan Loka Wayan, seorang aktivis anak dan perempuan, dalam sambungan telephone baru-baru ini.