
Virus Corona: Konspirasi dan Masa Depan Demokrasi
Bernadinus Steni (Penggiat Standar Berkelanjutan)
Para pejabat kesehatan publik percaya bahwa black death menular. Karenanya, kota harus diisolasi. Namun, otoritas agama meyakini hal itu sebagai kutukan. Sehingga perlu dibuat prosesi meriah untuk memulihkan murka Allah. Isolasi vs Mobilisasi. Perkelahian seru pun terjadi antara dua kubu.
Tentu kelihatannya amat konyol. Saat virus melanda, orang-orang justru baku hantam karena silang sengkarut pendapat tanpa jelas juntrungannya. Tapi, bukankah peristiwa serupa berulang di beberapa tempat di era ini.
Hampir empat abad setelah Black Death, manusia jaman ini yang menyebut diri sebagai homo techne logos (teknologi), reaksinya terhadap pandemi tetap saja sama. Konspirasi masih merupakan jawaban yang paling mungkin.
Teori itu sendiri tidak harus menjelaskan alam, berikut virus ganas yang menyertainya. Tidak pula sebagai refleksi diri. Cukup menuding sana sini, seringkali tanpa bukti. Dan memang tidak perlu bukti. Yang paling mudah dituduh tentu saja Tuhan. Kasian.
Namun hanya soal waktu saja satu gelombang pandemi dipahami. Soal cepat atau lambat. Virus Influenza yang menewaskan 50 juta orang pada 1918 tidak pernah ditemukan dalam catatan medis sebelumnya.
