Ketika itu, dia mendengarkanku dengan saksama. Dia mencermati kalimat-kalimatku dengan baik. Dia sangat mengerti maksudku dan perjalanan imamat ini yang akan saya jalani nanti, dan sedang saya jalani ini. Dia mengerti bahwa saya sedang memikul sebuah beban berat yang tidak dapat dipikul oleh orang lain. Dia menarik napas. Saya melihat lehernya bergerak dan mendengarkan bunyi napasnya. Saya memperhatikan dan mendengarkan napasnya. Saya tahu dia hendak mengabarkan sesuatu yang baik yang bisa membuat saya kuat dan berjalan lebih pasti. ”Penundaan itu bukan pengalaman neraka. Panggilan itu bukan neraka,” kata beliau memulai pembicaraanya. ”Tak perlu ikut-ikutan dengan yang lain. Kamu boleh satu angkatan tetapi tidak harus ditahbisakan pada tahun yang sama,” kata-kata yang sungguh menguatkan saya pada kesempatan saya beraudiensi dengannya. Ketika itu, beliau baru saja diangkat menjadi ketua STFK Ledalero. Mungkin saya sebagai orang pertama dari sekian banyak frater yang bertemu dengan beliau dalam urusan sekolah dan panggilan, di kantornya. Pengalaman saya bertemu dengan beliau menjadi konsumsi yang enak bagi tujuh (7) teman lain yang mengalami nasib yang sama, tertunda tahbisan diakon.
Berita Terkait