Dalam hati kecil terngiang-ngiang bisikan, ”Jangan pernah terlebih dahulu takut dan cemas sebelum engkau berbicara langsung dengan belia (P. Servulus Isaak, SVD). Memang suara itu kecil dari mulut anak manusia kecil dan tersembunyi, tapi memiliki kekuatan yang hebat. ”Suara hati, suara Tuhan,” ketika menyepi seorang diri di depan sakramen mahakudus, waktu itu.
Saya memberanikan diri menghadap beliau, si ketua sekolah, dengan satu keyakinan bahwa beliau baru saja menjabat sebagai ketua sekolah tentu saja sebagai orang baik dia menunjukkan hatinya yang baik pula kepada saya. Tak mungkin beliau yang baik memarahi saya selama saya tidak membuat kesalahan dan merugikan pihak lain. Maka sebuah keyakinan muncul bahwa saya harus berani karena perjalanan panggilan ini sudah diretas-Nya sejak dari dalam kandungan ibuku. Dia yang menenun aku dalam rahim ibuku akan menunjukkan jalan dan membukan jalan lebar-lebar karena Dia mengasihiku dengan kasih yang kekal.
Setelah salam, selamat pagi, di ruang kantor ketua sekolah. ”Kamu nama siapa? Perlu dengan saya? Silakan duduk,” kata-kata awal beruntun darinya tanpa menunggu jawaban saya. Sekarang, saat kematiannya saya teringat semuanya,”toe nganceng gereng, kraeng ho’o. Toe diwale tombo diha.” (Maaf, kalau salah penulisan, maklum terbawa perasaan sedih dan terhalang air mata karena dialah yang menolong saya dengan menguatkan saya saat itu. Maaf … saya harus menangis di sini, di atas laptopku ini, jangan salahkan saya yang imam tapi bisa menangis seperti anak kecil, seolah itu hanya milik mereka. Karena itu, saya tidak mau menangis di depannya, depan banyak orang, di samping petinya apalagi dilarang untuk melihatnya dari dekat).