
Produk produk hukum inilah yang disebut dengan pertunjukan akrobatik hukum, karena baik secara formil dam materil sangat bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yaitu undang-undang, yang seharusnys berlaku asas Les superiori derogate legi inferiori. Namun faktanya Pemerintah melalui Pemerintah Provinsi terus melakukan upaya paksa yang cendrung represif agar masyarakat tunduk dan taat pada ketentuan yang sesungguhnya tidak memenuhi unsur dan tidak mendatangkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
Salah satu contoh yang sangat “telanjang bulat” dipertontonkan dalam akrobatik hukum ini, sebagaimana yang kita saksikan bersama saat RDP Sekjen KLH dengan DPR RI beberapa waktu yang lalu. Bahwa menurut pernyataan dari Sekjen KLH itu sendiri yang menyatakan bahwa IUPJWA/ PS-PJWA salah satu perusahaan yang hendak melakukan kerjasama konservasi di TNK dalam hal ini PT. Flobamora yang ditunjuk oleh Pemerintah provinsi, permohonan ijinnya sedang dalam proses persetujuan. Ini mau menjelaskan bahwa KLH yang diberi mandat oleh undang-undang untuk bertanggung jawab dalam penyelenggaraan konservasi di TNK belum mengeluarkan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) PP No. 28 tahun 2011. Namun kita dapat melihat fakta di lapangan, Kementrian LH melalui badan/organisasi yang dibentuknya berdasarkan Kepmenhut No. 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional disingkat BTNK melakukan Perjanjian kerja sama ( PKS) dengan PT. Flobamora, sebagaimana tertuang dalam PKS nomor : 01/T.17/TU/REN/2/2022 tanggal 04 Februari 2022. Bagaimana logika akal sehat bisa menerima dan memahami argumentasi dasarnya? Bukankah seharusnys IUPJWA/PS-PJWA harus menjadi alas hukum untuk dapat dilakukannya perjanjian kerja sama? Faktanya itu masih dalam proses persetujuan? Kementrian dalam hal ini menunjukan prilaku yang ambique juga. Inilah salah satu babak yang dipertontontkan dalam pertujunkan akrobatik hukum yang sedang di pertontonkan oleh pemerintah di Kawasan Taman Nasional Komodo pada saat ini.