Aspek Legal, Kemanusiaan, dan Benefit Ekonomi dari Kisruh Nangahale (Bag.I)
Oleh Dr. Ing. Ignas Iryanto Djou Gadi Gaa*
1. Gereja katolik dalam hal ini Apostolishe Vicariaad van de klaine Soenda Ellanden ( vikariat apostolik kepulauan sunda kecil) menerima lahan seluas 1438 Ha dari Perusahaan Belanda dengan membelinya seharga F. 22.500 pada tahun 1926. Ada kuitansi pembayaran sebagai bukti transaksi yang terjadi. Gereja sebenarnya sejak awal bisa mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut. Pada tahun 1956 Vikariat Apostolik Ende mengajukan permohonan kepada swapradja Sikka untuk mengembalikan Tanah konsesi Nangahale seluas 783 Ha karena sudah ditempati dan digarap oleh penduduk dengan pertimbangan kemanusiaan.
Baru ditahun 1979 setelah diberlakukan UUPA yang juga mengatur pemberian hak baru atas tanah konversi hak hak Barat( Belanda), lahan ini direlakan gereja menjadi tanah negara dan gereja mengelolanya dalam bentuk HGU yang diberikan oleh negara. Gereja jelas taat hukum, lahan yang awalnya seluas 1438 Ha yang dibeli dari Perusahaan Belanda akhirnya menjadi milik negara dan gereja mengelolanya dalam bentuk HGU seluas lebih dari 800 Ha. Dari awal sekali gereja taat hukum dan melepaskan peluangnya untuk mengklaim kepemilikan berdasarkan transaksi jual beli yang ada dan menyerahkan kepemilikannya kepada Negara. Waktu itu masih dibawah keuskupan Agung Ende yeng memulai Perkebunan kelapa.
Pojok bebas mantap beritanya kerent banget