TOE NGANCENG GERENG, KRAENG HO’O, Toe diwale tombo diha

Oleh: P. Yosep Bala Makin, SVD

Penundaan tahbisan diakon itu memang menyakitkan bagi saya dan mengejutkan banyak orang kalau dilihat sepintas di permukaannya dari sebuah panggilan yang merupakan sebuah perjalanan yang teramat panjang. Tidak sekadar ’ya’ atau tidak sekadar ’tidak’ tetapi konsekuensi dari jawaban itu.

Ketika saya harus mengalami dan menerima kenyataan penundaan tahbisan diakon, saya berjuang seorang diri bergulat dengan panggilan ini. ”Panggilan ini harus seperti ini kah?” Saya berbisik dalam hati. Hampir saja putus asa ketika yang lain berjalan terus dan lancar-lancar saja. Seolah-olah mereka itu lebih pandai, lebih suci, lebih kudus, lebih baik dari saya. Saya sendiri tidak mengerti, apakah mereka adalah manusia-manusia mujur yang dari mula sudah dikenal sangat baik oleh Tuhan dan Ia memanggil mereka sementara saya belum terlalu dikenal oleh Tuhan. Bahkan sempat membatin ”Saya tidak dikenal oleh Tuhan berarti saya tidak layak.” Saya berkesimpulan sementara tentang mereka bahwa seolah-olah mereka itu sama sekali tidak pernah mengenal kesulitan dalam perjalanan panggilan ini. Saya juga tidak mengerti apakah saya dan tujuh orang teman yang lain yang mesti mengalami pengalaman penundaan lantas sebaiknya dipisahkan dari dua puluhan teman yang lain? Apakah kami tidak termasuk manusia domba dalam perjalanan panggilan ini? Apakah kami harus dipisahkan seperti Kambing tak boleh bergabung dengan Domba? Memang tidak layak Domba bergabung dengan Kambing.

BACA JUGA:
Golkar Manggarai Siap Kawal Jalannya Pemerintahan Hery-Heri
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More