Karakter dan Pembentukannya
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, Kepala SMPK Frateran Ndao
Pengantar
“Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup
seseorang, adalah dengan menanamkan budaya literasi (membaca-berpikir-menulis-berkreasi)”….Lenang Manggala
“Karakter seseorang dibentuk oleh lingkungan dan keluarganya”….Nastiti Denny
“Karakter yang baik tidak terbentuk dalam seminggu atau sebulan. Itu dibuat sedikit demi
sedikit, hari demi hari. Upaya yang berlarut-larut dan sabar diperlukan untuk
mengembangkan karakter yang baik.”…Heraclitus dari Efesus
Setiap manusia siapapun dia pasti memiliki karakter yang baik, sejak dalam kandungan ibunya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, karakter bisa saja berubah. Dan pengaruh lingkungan sangat besar dalam perubahan karakter seseorang.
Lingkungan disini, bisa berarti lingkungan intern, dalam hal ini keluarga dan atau sekolah dan juga
lingkungan ekstern dalam hal ini lingkungan sosial masyarakat. Kualitas penumbuhan karakter di rumah dan atau di sekolah akan diuji di laboratorium hidup lingkungan
masyarakat.
Jika nilai nilai karakter yang baik yang ditumbuhkan di rumah atau keluarga dan atau disekolah tetap awet dan terpatri dengan baik alias tidak terkontaminasi oleh lingkungan, maka itu artinya kualitas tanah tempat tumbuhnya benih benih karakter itu, baik dan subur.
Ingat perumpamaan tentang seorang penabur: ada sebagian benih jatuh di pinggir jalan, ada besebagian benih jatuh di tanah yang berbatu-batu, ada sebagian benih jatuh di tengah semak duri, dan ada sebagian benih jatuh di tanah yang baik (Matius 13: 1– 23).
Bahwa benih yang jatuh di tanah yang baik, melambangkan hati orang tempat benih itu tumbuh, akan menyimpannya dalam hati (Injil Lukas), dan mengeluarkan buah.
Buah dalam perupamaan-perumpamaan Yesus, melambangkan hasil dari kematangan dan kedewasaan spiritual, yang diwujudkan dalam bentuk perubahan sikap atau berbuah dan berubah.
Jadi, karakter itu, dibentuk sejak kita manusia masih berada di dalam kandung ibu. Tuhan bersabda: “sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi …. ( Yeremia 1: 5).
Oleh karena itu, kita manusia perlu merawatnya dengan baik, dengan cara: menggembur, menyiangi, memberi pupuk dan menyiram dengan doa, membaca firman Tuhan, mendengarkan nasihat, teguran, didikan dan ajaran, orang tua, para guru.
Semua itu, dilandasi oleh keterbukaan dan kerendahan hati untuk mau berbuah dan berubah.
Etimologi dan Definisi Karakter
Secara etimologis, kata karakter Inggris: character, berasal dari Bahasa Yunani yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan dan Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987:214).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifatsifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atat berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak.
Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007:80).
Sedangkan secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morallay good way”. Selanjutnya Lickona menambahkan , “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991:51).
Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan.
Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pemikiran (cognitives), perasaan (affectives), dan perilaku (behaviors) yang sudah menjadi kebiasaan (habits).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal, yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berelasi dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya yang terwujud dalam pikiran, perasaan, dan perkataan, serta perilaku sehari-hari berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dari konsep karakter ini muncul konsep Pendidikan karakter (character education). Dengan demikian pendidikkan karakter, tidak hanya terjadi di sekolah, melainkan dimulai dari rumah atau keluarga dan terjadi di masyarakat.
Dimana rumah, sekolah dan masyarakat, oleh Ki Hajar Dewantara di sebut sebagai tripusat pendidikan. Oleh karena, rumah, sekolah dan masyarakat, merupakan sentra pendidikkan, maka sudah pasti penmbuhan nilai karakter juga harus terjadi di sana.
a. Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
Hal ini tertuang dalam permendikbud No. 30 tahun 2017, tentang pelibatan keluarga pada penelenggaran pendidikan.
Sedangkan dalam konteks dan pandangan Kristiani, keluarga dapat diartikan sebagai persekutuan antar pribadi yang intens; antar pasangan, antar orangtua dan antar generasi, karena itu keluarga merupakan suatu komunitas yang harus dijaga kelangsungan hidupnya.
Dan dalam Gaudiun et Spes No. 52, mengatakan: Keluarga adalah semacam Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak.
Dan menurut konsep Islam, keluarga adalah satu kesatuan hubungan antara lakilaki dan perempuan melalui akad nikah, sesuai ajaran Islam. Dengan adanya ikatan akad pernikahan tersebut, dimaksudkan anak dan keturunan yang dihasilkan menjadi sah secara hukum agama (Aunur Rahim Faqih, 2001: 70).
Dari definisi keluarga diatas, dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah sebuah komunitas cinta, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dan di komunitas cinta inilah terjadinya penumbuhan nilai karakter.
Oleh karena itu, keluarga atau lomunitas cinta disebut juga sebagai lembaga pendidikkan informal. Pendidikan informa adalah kegiatan pendidikkan yang tidak diorganisasikan secara struktural, dan tidak mengenal sama
sekali penjenjangan kronologis menurut tingkatan umum maupun tingkatan keterampilandan pengetahuan.
Jadi, dengan demikian sesungguhnya keluarga merupakan sekolah pertama dan utama bagi seorang anak untuk belajar pertama kalinya, dengan kedua orang tua sebagai soko guru atau guru utama atau pilar utama dalam membangun fondasi karakter bagi seorang anak atau peserta didik.
Jadi, di sanalah penumbuhan atau pembentukan awal karakter seorang anak atau peserta didik. Oleh karena keluarga sebagai tempat atau sekolah pertama dan utama penumbuhan nilai karakter yang baik, maka kunci keberhasilan pendidikan karakter bagi seorang anak, sesungguhnya ada di keluarga dengan orang tua sebagai orang kunci (key person), melalui keteladanan hidup dan pembiasaan yang baik.
Ada ungkapan latin: verba movent, Exempla Trahunt, yang artinya kata – kata menggerakan, namun teladan hidup lebih memikat. Atau verba docent, exempla trahunt, yang artinya: kata – kata yang mengajar, namun tindakan yang memberi teladan.
Dua ungkapan latin di atas, kiranya dapat menginspirasi para orang tua dalam menumbuhkan nilai karakter pada diri anak atau peserta didik. Ingat, buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonya, kecuali tanahnya miring.
Itu artinya keluarga, dalam hal ini kedua orang tua, memiliki peran yang sangat vital dalam penumbuhan nilai karakter. Bagi orang tua, tentunya tidak hanya menunmbuhkan nilai kakter, tetapi juga merawat dan menjaganya, agar tetap terpatri dan terinternalisasi dengan baik pada diri seorang anak.
Hal ini tidak mudah, sebab anak pasti akan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dan ketika seorang anak berinteraksi dengan lingkungannya, maka ia membawa profil keluarga atau orang tuanya.
Dengan demikian seorang anak gambaran atau citra atau cerminan keluarga atau orang tuanya. Maka, baik atau tidak, harmonis atau tidak keluarga dapat dilihat pada sikap atau pun perilaku anak. Tidak selalu benar, tetapi faktanya demikian.
Jadi, peran keluarga atau orang tua dalam proses penumbuhan karakter melalui pendidikkan awal seorang anak, sangatlah penting. Maka, predikat sebagai soko guru atau guru utama pantas disematkan pada semua orang tua.
Ingat kata kata Ki Hajar Dewantara, bahwa setiap rumah adalah sekolah, dan setiap orang adalah
guru Ibarat membangun sebuah rumah, jika fondasinya kuat, maka sekeras atau sebesar apapun badai mendera pasti rumah itu akan tetap berdiri kokoh kuat.
Sebaliknya, jika fondasuinya rapuh, maka pasti rumah itu mudah roboh, dan hancur berantakan, manakala da badai menerjang. Maka, tugas berat para orang tua adalah menjadikan bangunan itu tetap berdiri kokoh kuat, walau ada badai yang melanda.
Dalam hal ini, bangunan yang dimaksudkan adalalah setiap anak. Namun yang perlu diingat bahwa setiap orang tua tidak hanya membangun bangunan fisik jasmani seorang anak, melainkan juga membangun bangunan rohani, sebagai bait Roh Kudus (bdk. 1Kor 6:19-20).
Jika demikian, maka keluarga bisa juga disebut sebagai sekolah dan gereja mini. Dan ingat pula kata kata Ki Hajar dewantara, bahwa setiap rumah adalah sekolah dan setiap orang adalah guru, dalam hal ini adalah para orang tua peserta didik.
Oleh karena itu, maknai sejumlah fungsi keluarga (M.I Soelaeman (1994), adalah sebagai
berikut:
a. Fungsi Edukasi: keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar
menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan tuntunan perkembangan waktu.
b. Fungsi Sosialisasi
Keluarga mempersiapkan anak sebagai anggota masyarakat yang baik dan berguna
kehidupan di masyarakatnya.
c. Fungsi Proteksi
keluarga sebagai tempat memperoleh rasa aman, nyaman, damai dan tenteram bagi
seluruh anggota keluarga.
d. Fungsi Afeksi
keluarga sebagai tempat untuk menumbuhkembangkan rasa cinta dan kasih sayang
antara sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
e. Fungsi Religius
keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak kepada kehidupan
beragama dengan menciptakan iklim keluarga yang religius sehingga dapat dihayati
oleh keluarganya
f. Fungsi Ekonomi
meliputi pencarian nafkah, perencanaan, serta pemanfaatan dan pembelajarannya.
g. Fungsi Rekreasi
keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah, ceria, hangat
dan penuh semangat.
h. Fungsi Biologis
keluarga sebagai wahana menyalurkan reproduksi sehat bagi semua anggota
keluarganya.
b. Sekolah
Menurut Abullah (2011), kata Sekolah berasal dari bahasa Latin, yaitu skhhole, scola, scolae atau skhola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah kegiatan mereka yang utama, yaitu bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa anak-anak dan remaja.
Kegiatan dalam waktu luang ialah mempelajari cara berhitung, membaca huruf-huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni).
Untuk mendamping dalam kegiatan sekolah anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatankesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajarannya.
Menurut Sunarto dalam buku yang ditulis boleh Abdullah (2011) juga, pada saat ini kata sekolah telah berubah artinya menjadi bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran.
Itu artinya sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan formal, yang terdiri dari para pendidik, tenaga kependikkan dan peserta didik. Para pendidik dan peserta didik belajar bersama sama dan bersama
sama belajar.
Dan disaat yang bersamaan, seorang pendidik melakukan tindakan mendidik dan mengajar. Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan, baik secara fisik, mental, jasmani dan spiritual/rohani.
Oleh karena itu, sesungguhnya esensi dalam mendidik adalah memanusiakan manusia yang bisa diterapkan dengan metode pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat aktif, kolaboratif, dalam dialog yang ada di kelas.
Inilah yang nama merdeka belajar, yang saat ini sedang diimplementasikan pada satuan pendidikan, lebih khusus lagi pada sekolah penggerak.
Masih menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa memanusiakan manusia maknanya menjadikan manusia sebagai makhluk berharkat dan bermatabat sesuai kodrat, dengan cara menyelenggarakan pendidikan yang baik, mencakup pendidikan mental spiritual /agama, ilmu pengetahuan maupun ketrampilan.
Intinya, menjadikan manusia sebagai insan yang berguna bagi lingkungan, keluarga, bangsa dan agama, yang hidupnya bahagia dan sejahtera . dengan demikian, konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang holistik, dimana murid atau peserta didik, dibentuk menjadi insan yang berkembang secara utuh meliputi olah rasio (olah pikir), olah rasa (estetika), olah jiwa atau olah hati (etika) dan olah raga kinestetik) melalui proses pembelajaran dan lainnya, yang berpusat pada peserta didik dan dilaksanakan dalam suasana penuh keterbukaan, kebebasan, serta menyenangkan.
Hal ini seiring dengan empat pilar pendidikan menurut UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together.
Dua pilar pertama telah dipraktekan pada sistem pendidikan kita yaitu mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan, tetapi itu terasa tidak cukup karena kita mengharapkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki kecerdasan, tetapi juga harus berkarakter baik.
Dan mengingat pentingkan penumbuhan nilai nilai karakter ini di satuan pendidikan, maka pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan, menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal.
Permendikbud ini, merupakan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter, dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Inilah muara dari pendidikan, yakni harus melahirkan peserta didik yang cerdas dan berkarakter baik atau profil pelajar pancasila.
Dan dengan meminjam istilah Paulo Freire, bahwa pendidikan itu harus bersifat humanis yang artinya memberikan kedudukan yang setara bagi guru dan peserta didik dalam suatu hubungan subjek-subjek, dan bukan subjek-objek.
Artinya, dalam proses belajar mengajar, baik guru maupun peserta didik mempunyai kesempatan yang sama
dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Lebih lanjut, menurut Paulo Freire bahwa pendidikan yang ideal itu, harusnya berorientasi kepada nilai-nilai humanisme (mengembalikan kodrat manusia menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita ata objek). Masih menurut Paulo Freire, pendidikan yang ideal itu, memiliki empat ciri,
yakni:
Pertama, pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai humanisme. Kedua, pendidikan mesti mampu menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia dari situasi ketertindasan.
Ketiga, proses belajar mesti berbentuk investigasi kenyataan. Keempat, proses pendidikan mesti bercorak dialogis.
Demikianlah, konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire, yang bisa diambil benang merahnya yakni harus melahirkan manusia yang lebih manusiawi dan lebih merdeka, agar sejahtera dan bahagia dalam hidup.
Oleh karena itu, ada ungkapan latin: “Non scholae, sed vitae discimus”, yang artinya: kita belajar bukan
untuk sekolah, melainkan untuk hidup”. Ungkapan ini, diungkap oleh Seneca, seorang filsuf dan pujangga, yang hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi.
Jadi, makna ungkapan ini adalah bahwa manusia belajar untuk mempersiapan hidup dimasa depannya, agar
sejahtera dan bahagia (well being).
Dengan demikian, tugas sekolah sesungguhnya hanyalah memperkuat nilai nilai karakter yang sudah ditumbuhkan di rumah atau keluarga.
c. Masyarakat
Masyarakat berasal dari bahasa inggris yaitu society yang berarti masyarakat, lalu kata society berasal dari bahasa latin yaitu societas yang berarti kawan.
Sedangkan masyarakat yang berasal dari bahasa arab yaitu musyarak, yang artinya hubungan
(interaksi).
Secara umum pengertian masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang hidup bersama, bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam lingkungannya.
Pengertian masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan hubungan hidup bersama tanpa dengan dibatasi lingkungan, bangsa dan sebagainya. Sedangkan pengertian masyarakat dalam arti sempit adalah sekelompok individu yang dibatasi oleh golongan, bangsa, teritorial, dan lain sebagainya.
Pengertian masyarakat juga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang terorganisasi karena memiliki tujuan yang sama. Pengertian masyarakat secara sederhana adalah sekumpulan manusia yang saling
berinteraksi atau bergaul dengan kepentingan yang sama.
Oleh karena itu, harus disadari bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial, yang oleh Aristoteles filsuf asal Yunani menyebutnya dengan istilah zoon politicon. Istilah ini menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang senantiasa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama.
Secara harfiah, zoon politicon artinya makhluk yang selalu hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa dipisahkan dari kelompok masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain.
Oleh karena itulah, manusia disebut sebagai manusia, karena ia hidup dengan sesama manusia yang lain, sebagai teman, kawan atau homo homini socius, demikian kata Driyarkara.
Dan sebaliknya, jangan pernah memperlakukan sesama manusia sebagai musuh yang harus dihabisi atau homo homini lupus, demikian kata Thomas Hobes. Jika itu yang terjadi, maka dikatakan bahwa manusia tidak memiliki karakter yang baik.
Lebih jauh, jika ditinjau secara etimologi, manusia berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata manu, dan bahasa Latin yakni mens yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi.
Itu artinya dengan akal budinya, manusia harusnya tahu membedakan mana yang baik, yang harus dilakukan, dan mana yang tidak baik yang tidak perlu dilakukan.
Dan selain, memiliki akal budi, manusia juga memiliki hati nurani yang berfungsi sebagai pusat pertimbangan.
Dengan demikian, sesungguhnya di masyarakat yang terdiri manusia yang berkal budi dan hati nurani, menjadi lokus yang baik untuk penumbuhkan karakter.
Itu artinya pula bahwa lingkungan masyarakat juga menjadi sumber belajar, tempat penumbuhan karakter dan pembentukan karakter, sekaligus menjadi laboratorium karakter untuk menguji kualitas manusia, yang sudah menginternalisasikan nilai nilai karakter, di rumah atau keluarga dan di sekolah.
Penutup
“Pembangunan karakter dimulai sejak dini dan akan berlangsung hingga
kematian”….Eleanor Roosevelt.
“Satu pelajaran paling penting dari pengalaman adalah kesuksesan itu ditentukan
oleh karakter, bukan oleh kemampuan intelektual atau keberuntungan”….William
Edward Hartpole Lecky.
Demikianlah tulisan karakter dan pembentukannya, melalui keluarga, sekolah dan masyarakat, yang oleh Ki Hajar Dewantara di sebut sebagai tripusat pendidikan. Bahwa keluarga, sekolah dan masyarakat, merupakan lokus yang baik untuk penumbuhan dan pembentukan karakter.
Dengan demikian, penumbuhan dan pembentukan karakter yang baik adalah tanggungjawab orang tua, sebagai soko guru atau guru utama dan pertama bagi si anak, juga para pendidik dan tenaga kependikan serta masyarakat (pemerintah).
Kolaborasi yang baik dari ketiganya akan menghasilkan manusia muda yang cerdas dan berkarakter baik, atau akan terciptanya profil pelajar pancasila, yang: beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bergotong-royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, dan kreatif.
Akhirnya, sekali lagi bahwa karakter yang baik dan pembentukannya, dapat terwujud dengan baik, apabila semua ekosistem dapat bergerak, tergerak dan menggerakan satu sama lain, yang dilandasi oleh cinta.
Dan dengan cinta pula anak anak atau peserta didik dapat tumbuh dan berkembang, sehingga menghasilkan buah cinta untuk dirinya, sesama dan untuk Tuhan. Semoga demikian!!