Hari ini umat katolik merayakan Tri hari suci, membaharui credo akan Mysteri Paskah Kristus. Konsili Vatikan II (1963-1965) kerap kali menggunakan sebutan “Mysterium Paschale” yang mengacu kepada karya penebusan Kristus dan dirayakan dalam liturgi. Merayakan Mistery Paskah sebatas konteks hari raya, maka moment ini tidak lebih dari sekedar pengulangan, ulang tahun atau peringatan. Akan tetapi umat Kristen perlu mengafirmasi Mysteri Paskah sebagai pernyataan kerahiman Allah yang tiada batas atas dirinya hingga pada tahap askese dan praksis perubahan hidup. Yesus Tuhan dan Guru telah memberi contoh berpuasa selama 40 hari, dan limit waktu ini ruang introspeksi dibuka sangat luas bagi kita untuk sadar, sesal dan membangun sikap tobat. Muara dari tahapan ini yakni niat menanggalkan zona nyaman kebiasaan-kebiasaan kita yang keliru dan salah. Tanpa mengabaikan sejarah paskah dari kata Ibrani “Pesach” atau Inggris “Passover” yang artinya dilewati atau diluputkan soal pembebasan Israel dari belenggu penjajahan Mesir, Paskah Kristus adalah penyempurna sejarah, karena Dialah Anak Domba Sejati. Korban darah-Nya merupakan korban tak tergantikan, satu kali untuk selamanya sebagai tebusan bagi dosa dan kedurhakaan manusia. Korban tak ternilai dalam takaran korban manusia. Kendati Kristus tidak menuntut ganti rugi atas korban-Nya, manusia perlu menegaskan tanggung jawab, berikut keiklasannya mengambil bagian dalam korban Kristus. Praktek miris yang dilakukan para beriman seperti : demonstrasi anarkis menjelang Paskah ikhwal gagal tes PTT, kenaikan BBM, merongrong kebijakan pemerintah secara tak santun yang mengiris disposisi batin umat menyongsong Paskah merupakan ulah beragama dangkal iman. Kebiasaan doa yang memohon Tuhan menjauhkan dari tantangan, cobaan, sakit penyakit dan hanya menginginkan rejeki yang berlimpah sesungguhnya mempertontonkan sikap mengelak dari kerelaan menderita bersama Kristus. Pertanyaan sederhana, apakah Tuhan belum cukup berlaku baik dan apa jasa kita?