Bersilat Kata dan Cinta Uang
Lantas, apakah tingkah laku tersebut serta-merta kita abaikan? Harus diakui bahwa banyak masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dan pengangguran. Berdasarkan data BPS, Jumlah penduduk miskin pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang sedangkan jumlah pengangguran di Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang, bertambah 60 ribu orang dibandingkan periode sama tahun lalu. Situasi ini menjadi ironi, ketika pemerintah berjuang mengatasi krisis pandemi Covid-19, beberapa oknum menyikapinya dengan korupsi dan menghamburkan uang rakyat. Tindakan ini, bukanlah contoh yang baik dan kontraproduktif dengan semangat pemberatasan korupsi di Indonesia.
Menjawab persoalan-persoalan ini, Institusi Kejaksaan dan Kepolisian harus berbenah diri mengingat banyaknya rentetan pristiswa di Indonesia yang diduga membungkam upaya pemberantasan korupsi. Misalnya saja, Perubahan UU KPK. Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Perubahan UU ini diklaim lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaatnya. Diduga perubahan-perubahan tersebut merupakan ekspresi dari silat lidah (demi uang) yang ujung-ujungnya melemahkan visi pemberantasan korupsi. Klaim tersebut didudukan karena KPK lahir dari refleksi atas sejarah bangsa yang tidak optimal dalam menangani kasus korupsi. Penanganan korupsi yang dinilai tidak optimal sebelum lembaga KPK dibentuk dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan lahirnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi (vide menimbang hurug b).