Penjualan Tanah dan Krisis Identitas; Perspektif Rerum Novarum

Oleh Putriani Sulastri Bahagia, Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng

Fenomena penjualan tanah di Indonesia, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan, telah menjadi isu yang semakin mencuat beberapa dekade terakhir. Terutama di wilayah pedesaan, penjualan tanah secara masif sering kali menjadi respons atas desakan ekonomi atau janji investasi besar yang datang dari pengembang properti dan korporasi multinasional. Namun, fenomena ini tidak hanya memengaruhi aspek ekonomi, melainkan juga menyebabkan krisis identitas yang mendalam.

Tanah bukan hanya sekadar aset materi, tetapi juga mengandung nilai budaya, sosial, dan spiritual yang melekat erat dengan identitas individu dan komunitas. Ketika tanah dijual, komunitas yang kehilangan tanah mereka sering merasa kehilangan sebagian dari diri mereka sendiri. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, di kawasan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, banyak petani lokal menjual tanah mereka kepada perusahaan tambang dan perusahaan properti untuk pembangunan proyek besar seperti Bandara Internasional Yogyakarta (https://www.bbc.com/indonesia/majalah-44020249). Proyek ini memicu konflik antara masyarakat yang terancam kehilangan tanah warisan mereka dan pihak pengembang yang berargumen bahwa proyek tersebut akan mendatangkan keuntungan ekonomi jangka panjang.

BACA JUGA:
Pendidikan Pemilu Untuk Pemilih Rentan
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More