Tetapi hingga saat ini kampanye literasi masih terus bergema dan digemakan lebih meluas bahkan sudah dimulai sejak anak-anak masih pada tingkat PAUD sampai perguruan tinggi. Kepada masyarakat luas pun masih terus dikampanyekan perihal literasi. Pengenalan akan dunia buku sebagai jendela dunia terus dikampanyekan. Kampanye literasi dan aksi-aksi menyangkut literasi masih tetap menjadi ladang subur. Tentu saja ini aksi pananaman semangat untuk bisa sampai pada tingkat kebiasaan dan menjadi budaya hingga menjadi masyarakat yang berliterasi. Untuk menjadi sebuah kebiasaan yang membudaya membutuhkan sebuah pengertian mengenai keterampilan dasar: literasi dan numerasi yang merupakan kemampuan bernalar tentang teks dan angka. Semangat berliterasi tidak sebatas melek aksara dan dapat mengeja kata demi kata. Nalar dapat berjalan baik dan bisa berkembang optimal karena keterampilan dasar tersebut dalam semangat untuk mencermati teks secara utuh. Sebuah teks pendek saja pun harus dibaca secara utuh sampai akhir karena semangat kita mudah terbilang baik. Suatu penyakit kecenderungan berhenti di tengah teks yang berisiko bahwa isi teks dimengerti hanya sebagian sedangkan yang lain hanya bisa direka-reka. Akibat lebih luas bahkan lebih fatal bahwa pengertian kita menjadi sangat parsial terhadap teks yang dibaca. Menjadi sulit untuk mendapatkan informasi yang utuh sehingga tingkat keparahan bertambah ketika sebuah informasi yang disampaikan kepada orang lain pun tidak utuh bahkan tidak tepat dan benar.
Berita Terkait