Rasanya keutamaan itulah yang menjadi pegangan bapa Anton dalam meraih mimpi saat berhijrah dari Imulolong sampai Jakarta; dari NTT untuk Indonesia dalam setiap kata dan tindakan, baik sebagai polisi, sebagai warga Gereja, seorang ayah, maupun sebagai seorang peziarah yang sedang menggenggam tasbih menuju tanah air abadi.
Dan hari ini, ia dengan pakaian kebesaran seorang polisi berdiri tegak di pertigaan Wangatoa. Ia ingin membuktikan kepada semua insan Lembata, NTT dan Indonesia bahwa kepahlawanan bukan sekedar darah tertumpah; bukan pula sekedar pengakuan Negara berdasarkan keputusan pimpinan tertinggi. Kepahlawanan adalah kemartiran. Kemartiran inilah yang dilakoni Brigjen Anton. Ia mendharmabaktikan seluruh hidupnya untuk Negara dengan spirit dan iman yang mulia, dengan hidup sebagaimana seharusnya, mengabai dan mengusir segala godaan yang terus menganggunya, walau dengan resiko bahwa hidup pribadi dan keluarganya harus tampil sederhana apa adanya.
Oleh karena itu, kendati tak ikut ke Lembata, saya turut bersukacita atas persemian patung hari ini bersama tasbih hasil karyanya. Saya bersukacita karena kehadirannya di Lembata seakan memberi kesaksian terhadap siapa saja, teristimewa para pegawai, insan polisi dan abdi Negara lainnya bahwa profesionalitas hanya dimungkinkan bila ditopang oleh spiritualitas, sebab spiritualitas menuntun seseorang bertindak dan berperilaku dengan takaran moral-etik. Ketika perilaku moral etik dibungkam dalam setiap perilaku dan tindakan, maka seseorang akan dengan mudah memanfaatkan setiap peluang untuk sekedar menyalurkan hasrat primitifnya, menyejahterakan diri sendiri dan memenderitakan yang lain, entah dalam wilayah privat maupun menyangkut rakyat banyak.