
Salib, Ketulusan Menderita
Oleh Arnoldus Nggorong, Alumnus STFK Ledalero; Tinggal di Labuan Bajo
Dengan ini menjadi jelas bahwa proses menuju kematian berjalan lambat, tidak serta merta, membutuhkan waktu yang lama. Di sinilah pengalaman penderitaan yang amat mengerikan, memilukan itu sungguh nyata dirasakan oleh si korban.
Dalam peristiwa salib manusia benar-benar menjadi objek semata. Statusnya sebagai subjek yang otonom, yang menentukan dirinya sendiri ditiadakan, dibuat hilang. Dalam rumusan yang ekstrim, si korban diposisikan setara dengan barang, benda. Si korban, menurut Budi Hardiman, didehumanisasikan dan didepersonalisasikan sebagai objek.
Sebuah praktek kebiadaban yang sangat ekstrim yang dilaksanakan oleh manusia, yang berakal budi, secara murni dan konsekuen. Tercatat, membekas dalam sejarah peradaban manusia. Seluruh proses itu bukan hanya diberitakan kepada khalayak ramai, tetapi lebih dari itu dipertontonkan di depan umum sebagai sebuah pertunjukan, hiburan. Seolah-olah hukuman salib dipandang sebagai suatu kewajaran.
Model hukuman ini jika menggunakan perspektif HAM modern, maka ia memang pantas dan layak dikategorikan dalam pelanggaran HAM berat. Sebab hukuman salib memenuhi unsur-unsur di antaranya: penyiksaan, pembunuhan sewenang-wenang.