“Sada-Peda, Peda-Pani, Peda-Podo” dalam Tradisi Masyarakat Adat Woko Mbamo Kec. Nangaroro Kab. Nagekeo (Sebuah Tinjauan dan Perpektif Sosial Budaya)
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil (Putera Woko Mbamo Nangaroro Nagekeo)
Jadi, perbuatan tak bermoral (Sada-peda) memiliki akibat dan daya rusak yang sangat besar (Peda-pani), tidak hanya terhadap orang dan keluarga yang bersangkutan tetapi juga terhadap nilai-nilai dan tantanan kehidupan rumah tangga, keluarga besar, masyarakat serta lingkungan sosial. Bahkan perbuatan itu dan pelakunya dipersonifikasikan sebagai suanggi atau setan (Peda-Podo/polo).
Masyarakat adat menyebut dampak dari perbuatan tak bermoral itu dengan ungkapan paralelisme simbolik “Sao mbia-tenda mbegha”, “tana ara-watu mbanga”. Bahkan “tana nganga-watu bheka“. Artinya “Sada peda” dapat menimbulkan perpecahan dan keruntuhan, pemisahan dan ketebelahan dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga selain menimbulkan kemamarahan alam lingkungan sekitar. Bahkan kerenggangan, perselisihan, perpecahan hubungan sosial dalam rumah tangga, keluarga besar, masyarakat dan lingkungan bisa saja terjadi. Kerusakan sebagai akibat dari perilaku tersebut memang tidak mudah untuk dipulihkan kembali.
Karena itu bagi masyarakat Nagekeo “Sada Peda” termasuk kelompok perbuatan tak bermoral yang luar biasa atau tidak sederhana/kecil. Mereka menyebutnya dengan ungkapan parallel simbolis: “Sada mere-deko dewa”. Artinya perbuatan imoral itu adalah sebuah kesalahan besar (sada mere) dengan dampak dan resiko yang luas (peda pani) dan rumit untuk diurai atau diluruskan (deko dewa). Ia tidak tergolong dalam kelompok “sada go’o-deko bhoko” (kesalahan kecil atau sederhana).