Ratapan dan Pujian

Oleh Ferdinandus Erikson, S.Fil., Guru SMAN 2 Sendawar, Kalimantan Timur

Fatalitas dalam banyak budaya sering kali merujuk pada perasaan bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bias dihindari, yang sudah ditentukan, atau yang berada di luar kendali manusia. Namun, bagaimana kearifan local menyikapi fatalitas ini sering kali berbeda-beda, bergantung pada nilai-nilai budaya dan spiritual yang berlaku di masing-masing komunitas.

 

a. Sumpah alam

Dalam banyak budaya Indonesia, terutama di suku-suku tradisional, ada kepercayaan bahwa setiap kejadian, termasuk kematian dan bencana, sudah menjadi bagian dari rerencangan atau “rencana alam”. Misalnya, dalam masyarakat Bali, ada konsep “Tri Hita Karana” yang mencakup hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Fatalitas, dalam pandangan ini, lebih dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima karena merupakan bagian dari alam semesta yang lebih besar dan harus dijalani dengan penuh rasa syukur dan keseimbangan.

 

b. Kolaborasi Menghadapi Kesulitan

Fatalitas dalam bentuk bencana alam atau tragedy sering kali ditanggapi oleh masyarakat Indonesia dengan prinsip gotong royong (kerjasama). Ketika menghadapi kesulitan atau tragedi yang seolah tak terhindarkan, masyarakat lokal di banyak daerah Indonesia memiliki tradisi untuk saling membantu dan mendukung satu sama lain. Dalam hal ini, fatalitas tidak harus dilihat sebagai titik akhir, melainkan sebagai momentum untuk memperkuat solidaritassosial dan menemukan cara-cara baru untuk bertahan hidup dan membangun kembali kehidupan.

BACA JUGA:
 Kapela Permanen,  Karya Penuh Syukur untuk Stasi Wangkal di Tahun Santo Yosep
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More