Sikap dan pandangan demikian menemui ekologi yang relative layak untuk bertumbuh di tengah kebebasan beragama yang dijamin Negara. Masyarakat semakin hari semakin terjebak atau bahkan dijebak untuk berkubang dalam polarisasi hubungan social yang kusut, penuh dengki dan dendam. Terjadi komplikasi psikologis untuk menyikapi setiap tindakan, atas nama agama yang intinya bukan memberi pencerahan tetapi sebaliknya menjadi instrumen provokasi yang mempertajam perbedaan.
Pandangan Eskatologis
Secara terminology, eskatologis adalah harapan yang diberikan semua agama samawi, akan kebahagian di akhir saman (kebahagiaan setelah kematian). Walaupun secara eskatologis pula kebahagiaan akhirat itu diperoleh dengan memuliakan kehidupan di hari ini, namun konsep eskatologis yang cair ini mudah dibelokkan. Agama sering dihadirkan di lingkungan social kita dengan dua wajah biner yang saling bertolak belakang.
Prinsip “mati hari ini sama dengan besok” pelan tetapi pasti menggerogoti cara pandang kita pada nilai-nilai kehidupan. Agama yang dalam konteks historis-profetis sebagai jalan memerangi ketidakadilan dan ketimpangan sosial. mudah terabaikan. Agama sebaliknya jadi sumber ketidak-adilan itu sendiri yang mewartakan perpecahan dan kedengkian. Begitu juga secara sosiologis, agama yang intinya mewartakan kasih melampaui batas-batas primordialisme, kehilangan kegayutannya. Para pemeluk agama bahkan terjebak dalam sektarianisme sebagai tafsir atas totalitas manusia di jalan kebenaran agamanya.