Jadi, aktivisme sungguh membelit umat manusia. Lantas manusia tidak lagi punya kebiasaan mengalokasikan sebagian waktunya untuk keheningan. Apalagi untuk refleksi dengan penalaran dan konsentrasi yang jernih dan jauh dari pamirih.
Maka, tak mengherankan di sama-sini manusia makin kasar, kian beringas, makin tidak manusiawi. Kekasaran dan keberingasan tidak cuma ada di tengah kehidupan buruh di terminal bus, atau pelabuhan laut.
Semuanya itu bisa terjadi pula di sekolah-sekolah, di kalangan mahasiswa, di perkantoran, bukan di kalangan elite (elit politik, ekonomi, dan sebagainya), juga di tengah keluarga.
Kekerasan dan keberingasan sungguh meruyak nyata di jalan-jalan umum. Di sana, kendaraan-kendaraan besar menjadi “raja” yang melecehkan kendaraan-kendaraan kecil. Tapi kendaraan-kendaraan kecil juga “tidak mau kalah”. Bahkan, pejalan kaki pun “tidak mau kalah”.
Pada suasana seperti itu, para pengendara kendaraan kecil menampakkan perilaku mau menang sendiri dengan cara mereka sendiri. Memang mereka tidak bisa menang sendiri seperti pengendara kendaraan besar yang mereka kebut-kebutan sangat tak sopan seolah jalan umum menjadi milik pribadinya.