Kreatifitas Pemuda Yatim-Piatu di Toto Ninu Cafe Desa Wisata Wae Lolos

“Saya memang tidak mempunyai apa-apa. Tetapi saya memiliki siapa-siapa,” ujar Mus saat berbincang dengan penulis di kebunnya suatu senja.  Itu falsafah hidupnya yang membuat dia selalu optimis akan eksistensinya.

Pelan tapi pasti. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, ia bekerja tanpa kenal lelah. Memanfaatkan tanah warisan orangtuanya dengan penuh tanggungjawab.

“Saya sangat  bersyukur karena bapa dan mama mewariskan harta tanah untuk saya. Karena itu saya memanfaatkan harta warisan ini  dengan  bijak dan penuh rasa tanggungjawab. Saya sadar betul bahwa hanya dengan harta warisan ini saya bisa hidup,” tutur Mus.

Saya sendiri mengenal Mus sejak kecil. Ia anak yang tekun dan berperilaku  santun dengan siapa saja.

Menanam porang

Tahun 2011, tanaman porang di Kecamatan Sano Nggoang mulai dilirik pasar. Para tengkulak keluar-masuk kampung membeli umbi porang dengan harga Rp 500 per kg. Namun masyarakat petani saat itu belum tergiur karena harganya sangat murah.

Empat tahun kemudian, para tengkulak memburu umbi porang dengan harga beli melonjak hingga Rp 1.500 per kg. Saat  itu, warga petani umumnya mulai membudidayakan tanaman liar itu di kebun mereka. Makin tahun, harga porang  makin tajir. Tahun 2017, misalnya,  harga porang naik ke level Rp 2.500 per kg.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More