
Human Trafficking di NTT, Tinjauan dari Moral Kristiani
Oleh Rafael Ekaputra Daro, Mahasiswa Semester II STIPAS Santo Sirilus Ruteng
Dalam menghadapi krisis ini, Gereja Katolik memiliki peran penting sebagai institusi moral dan sosial. Gereja tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pelindung nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran moral kristiani menawarkan prinsip-prinsip yang relevan untuk menanggapi permasalahan perdagangan manusia, yang menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, solidaritas, keadilan, dan subsidiaritas sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Sebagai komunitas iman, Gereja dipanggil untuk menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara dan bekerja untuk memulihkan martabat manusia.
Human Trafficking Tinjauan dari Moral Kristiani
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini Gaudium et Spes menjelaskan: “Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya…perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda…begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, semua itu dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidakadilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta” (GS art.27). Seruan moral konsili di atas mengungkapkan perhatian dan kepedulian Gereja terhadap persoalan perdagangan manusia. Tujuannya ialah mengetuk pintu hati semua anggota Gereja untuk bersama-sama mewujudkan kepeduliannya melalui aksi-aksi konkret guna mengatasi persoalan ini (Para, 2019).