
Delik Formil UU Tipikor dan Relasi Kuasa (Bedah kasus Dugaan Korupsi Dana BTT)
Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH Ubaya dan Lawyer di Surabaya
Secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ditujukan kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan demikian.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Oemar Seno Adji, saat menjadi wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan DPR yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b UU No. 3 Tahun 1971 harus ditujukan kepada pengawai negeri sipil atau kedudukan istimewa yang dimiliki seseorang di dalam jabatan publik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971.
Secara historis ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berasal dari norma hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang kemudian diadposi kedalam UU Tipikor dengan melakukan sedikit perubahan pada beberapa frase.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor memiliki tiga unsur, yaitu (a) memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi; (b) melawan hukum; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut adalah perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi dengan menggunakan sarana melawan hukum tanpa perlu dibuktikan apakah dari perbuatannya tersebut timbul kerugian keuangan atau benar-benar merugikan perekonomian negara.