
Kemudian, Lazarus memotong beberapa kayu yang sama dengan tongkat itu dan menandai batas-batas kebun itu. Kata Lazarus, besoknya, memang monyet-monyet itu datang lagi, tetapi mereka hanya bergerak sampai ke batas dari tongkat-tongkat (tonggak) yang sudah ditancapkan oleh si Lazarus. Tongkat-tongkat itu rupanya berhasil menandai batas invasi bagi monyet-monyet itu. Mereka tidak melampaui batas itu. Ternyata mereka tahu diri juga.
Monyet Pasrah Itu Mengingatkan Dia Akan Dirinya
Kami semua sangat terharu dan terpesona mendengarkan cerita Lazarus di bawah pohon Nangka di depan sekolah kami. Ia bercerita dengan penuh emosional dan sangat lancar. Sama sekali tidak tampak bahwa ia gagap atau deka dalam bahasa Manggarai. Karena penasaran saya pun bertanya: “Mengapa kau tidak jadi memukul saat melihat monyet itu tunduk menyerah?” Dia terdiam. Tidak menyangka akan ditanyai seperti itu.
“Ah Frans, saat itu, detik itu, saya langsung teringat akan nasibku sendiri saat berada di bawah ancaman tongkat ayahku sendiri. Hanya bedanya, aku jarang mendapatkan belas kasihan dari ayahku. Walaupun aku sudah bungkuk dan memohon belas kasihan, aku jarang mendapatkan belas kasihan ayahku. Biar pun aku sudah memelas dan ketakutan, saya tidak mendapatkan belas kasihan itu.”