
Berjuang Berjalan Kaki ke Sekolah
Teman-teman saya yang berasal dari kampung Nampe biasanya berjalan di lembah sebelah barat di kaki bukit golo Nosot itu dalam rangka menuju ke sekolah. Salah satunya ialah temanku ini, Lazarus Numbuat. Dibandingkan dengan aku, ia adalah seorang yang berbadan cukup besar dan tinggi. Dari kampung itu ada empat orang yang menjadi teman kelasku.
Aku cukup akrab dengan keempat atau kelima teman yang berasal dari Nampe. Terutama dengan Laza saya merasa cukup dekat. Karena ia orangnya tenang. Di kelas, ia tidak banyak bicara. Tetapi ia termasuk orang yang sangat murah senyum. Kulitnya berwarna cukup hitam. Biasanya kami menyebutnya, “neni saung pau,” hitam seperti daun mangga. Kalau ia tersenyum, maka giginya tampak sangat putih. Kontras sekali. Memang Laza itu orangnya sangat murah senyum.
Temanku Laza mempunyai satu kekhasan di kelas kami. Ia tidak bisa berbicara lancar, apalagi kalau di depan kelas, ataupun saat menjawab pertanyaan guru, ataupun membaca sesuatu dari buku dan papan tulis. Bukan karena ia bodoh atau kurang cerdas. Melainkan karena ia gagap (dengkedet atau deka dalam bahasa Manggarai). Saya merasa gagapnya cukup parah. Butuh waktu beberapa detik agar ia bisa mengucapkan satu kata. Itulah sebabnya teman-teman kami biasanya tertawa (sesuatu yang tidak boleh sebenarnya) saat ia mendapat giliran untuk membaca sebuah teks di dalam kelas. Aku sendiri tidak pernah mau tertawa apalagi sampai menertawakan dia. Melainkan saya berusaha memahami mengapa dia mengalami hal seperti itu.