
Kami semua sangat terharu mendengarkan hal itu. Sama sekali tidak tampak bahwa si Lazarus itu orang yang gagap. “Saat aku melihat dia membungkuk dan mencoba melindungi badannya dengan tangannya, dan memandang dengan penuh belas kasihan, saya teringat akan nasibku sendiri.” Dia diam sejenak. Menghela nafasnya seakan-akan seperti sedang melepas sebuah beban dan tekanan. “Itulah sebabnya, saya menahan diri dan tidak memukul dia.” Terdiam lagi sejenak. “Di matanya saya melihat pantulan mataku sendiri yang memandang memohon belas kasihan.” Kami semua terdiam mendengarkan penuturan dan pengakuan itu.
Sekadar Penutup
Sementara itu di atas kami angin bertiup menggoyang dedaunan pohon Nangka yang rindang itu. Terdengar bunyi angin menggesek dedaunan. Jauh di ketinggian ada awan tebal yang lewat. Ia membawa naungan bagi bumi. Ada burung-burung kecil beterbangan sambil mencicit-cicit di tengah-tengah gesekan dedaunan itu. Kami semua hanya menghela nafas. Sambil memandang Laza dengan penuh iba dan khususnya saya dengan penuh pemahaman. Akhirnya, pada saat itulah saya bisa memahami mengapa kawanku Laza itu menderita gagap yang cukup parah. Ah sedih juga membayangkan nasib kawanku ini.