Tetapi seringkali suatu sikap spontan yang ekspresif, celetukan apa adanya dalam memahami gejala alam.
Di Manggarai hal semacam itu terjadi. Contoh, banjir, angin puting beliung atau “buru warat”, dan sejenisnya dianggap sebagai hukuman alam.
Tindakan amoral adalah salah satu penyebabnya. Warga kampung segera menduga-duga ada hubungan tak wajar antarinsan manusia, perselingkuhan, merusak mata air, perilaku menyimpang, dan seterusnya.
Karenanya, ketika gemuruh angin dan badai membelah keheningan kampung, orang-orang tua spontan bereaksi, “apa pemicunya dan siapa pelakunya”.
Apa hubungan antara perilaku dan badai, tidak tahu. Tetapi belakangan deep ecology menjelajahi wilayah ini. Bahwa tindakan manusia berhubungan dengan alam. Semua tindakan bertuah.
Sehingga reaksi atas suatu peristiwa menyimpang bukan saja muncul dari sikap sosial komunal, tetapi juga ekspresi alam. Dalam ekologi lama, korelasi itu tidak nampak. Alam dipandang sebagai potongan-potongan yang terputus.
Kalaupun ada ketersambungan semata-mata hanya dianggap kebetulan. Deep ecology justru sebaliknya. Yakni, ekologi ibarat tubuh. Satu syaraf terhubung dengan yang lain.