“Buru Warat” dan Deep Ecology ala Orang Manggarai

Oleh: Bernadinus Steni*

Tetapi seringkali suatu sikap spontan yang ekspresif, celetukan apa adanya dalam memahami gejala alam.

Di Manggarai hal semacam itu terjadi. Contoh, banjir, angin puting beliung atau “buru warat”, dan sejenisnya dianggap sebagai hukuman alam.

Tindakan amoral adalah salah satu penyebabnya. Warga kampung segera menduga-duga ada hubungan tak wajar antarinsan manusia, perselingkuhan, merusak mata air, perilaku menyimpang, dan seterusnya.

Karenanya, ketika gemuruh angin dan badai membelah keheningan kampung, orang-orang tua spontan bereaksi, “apa pemicunya dan siapa pelakunya”.

Apa hubungan antara perilaku dan badai, tidak tahu. Tetapi belakangan deep ecology menjelajahi wilayah ini. Bahwa tindakan manusia berhubungan dengan alam. Semua tindakan bertuah.

Sehingga reaksi atas suatu peristiwa menyimpang bukan saja muncul dari sikap sosial komunal, tetapi juga ekspresi alam. Dalam ekologi lama, korelasi itu tidak nampak. Alam dipandang sebagai potongan-potongan yang terputus.

Kalaupun ada ketersambungan semata-mata hanya dianggap kebetulan. Deep ecology justru sebaliknya. Yakni, ekologi ibarat tubuh. Satu syaraf terhubung dengan yang lain.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More