
“Wiwi Jaga Weki”, Mulut Jaga Badan: Sebuah Filosofi Ketika Lisa Jauh dari Etika
Oleh Dionisius Ngeta, Koordinator YASBIDA / Panti Santa Dymphna
Etika dalam kebersamaan dan komunitas sosial bukan sekadar aturan dan norma, tapi sebuah panggilan moral untuk saling menghargai siapa dan bagaimana pun dia. Rakyat bukan objek arogansi komunikasi pejabat. Tapi subyek yang memiliki hak yang sama untuk dihargai. Jika tidak, maka kesabaran bisa berubah jadi reaksi keras. Demonstrasi damai bisa jadi anarkis. Rumah dan harta kekayaan pejabat bisa dijarah. Jika arogansi komunikasi publik terus seperti ini, apakah kita sudah alami krisis etis dan minim etika? Apakah ethos makin jauh dari retorika politisi?
Ingat!! Kata-kata pejabat bisa jadi bius yang dapat menenangkan massa, tetapi bisa juga jadi pertamax yang dapat membakar emosi massa dan timbulkan tindakan brutal jika pembicara jauh dari etika. Retorika seorang pembicara tidak terlepas dari ethos, demikian Aristoteles. Kredibilitas moral pembicara, apalagi sekelas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat menentukan penerimaan rakyat dan legitimasi massa.
Karena itu betapa pentingnya kesantunan, etika dan moral dalam kehidupan bersama terutama dalam komunikasi publik. Bagi seorang pejabat pilihan rakyat, etika dalam bicara adalah fondasi legitimasi. Setiap kata yang diucap pejabat pilihan masyarakat adalah bentuk pertanggungjawaban moral, bukan sekadar hak asasi apalagi asal bunyi. Tanpa etika dalam komunikasi sosial, jabatan seorang anggota dewan hanyalah posisi sandiwara dan dapat merusakan harmoni kehidupan sosial.
