
“Wiwi Jaga Weki”, Mulut Jaga Badan: Sebuah Filosofi Ketika Lisa Jauh dari Etika
Oleh Dionisius Ngeta, Koordinator YASBIDA / Panti Santa Dymphna
Filosofi kampung dan peribahasa using di atas: “Mulut jaga badan”, dan “mulutmu-harimau” tetap relevan untuk setiap insan. Kita diingatkan agar tidak ceroboh dan mempertimbangkan banyak aspek sebelum bicara. Epiketos, seorang filsuf Yunani Kuno sudah lama mengingatkan: “Manusia diberi satu mulut, dua telinga agar ia lebih banyak mendengar daripada bicara”. Kehati-hatian dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama etika dan norma menjadi satu hal yang tidak kalah penting dalam komunikasi publik, tidak hanya aspek logis dan mudah dimengerti.
Kecepatan informasi tentang segala yang terjadi di era digitalisasi bisa berdampak besar dan luas. Peribahasa: “Mulutmu Harimaumu” bisa berkembang menjadi: “Jariku Harimaumu”. Di zaman digital, orang bisa dengan mudah menyebarkan informasi apa saja dan dapat menyulut emosi massa hanya dengan satu klik saja.
Karena itu setiap orang terutama anggota dewan perwakilan rakyat terhormat dituntut memiliki kesadaran bahwa setiap lisan yang terucap dan kata yang tersampaikan adalah mewakili lembaganya bahkan negara. Tidak hanya pribadi! Tutur kata yang terucap bukan miliknya semata melainkan cermin dari jabatan yang disandang. Kata-kata yang disampaikan mesti menjadi cermin keteladanan dan selalu mengedepankan etika sosial sebagai makhluk yang hidup dalam sebuah komunitas sosial yakni sebagai bangsa Indonesia. Dalam kebersamaan atau komunitas, manusia diikat oleh sebuah nilai yang perlu dijunjung tinggi dalam kumunikasi yakni etika, demikian Aristoteles.
