“Wiwi Jaga Weki”, Mulut Jaga Badan: Sebuah Filosofi Ketika Lisa Jauh dari Etika

Oleh Dionisius Ngeta, Koordinator YASBIDA / Panti Santa Dymphna

Pertanggunggungjawaban moral seorang pejabat terutama pejabat yang dipilih oleh rakyat tidak hanya pada kinerja kerja. Lisan seorang pejabat tidak sekedar kata. Tidak juga sekadar kata-kata yang asal dibunyikan. Tapi symbol moral seseorang yang menunjukkan bahwa dia sungguh saling menghargai dan memahami dirinya (tahu diri) dan orang lain sebagai sesama yang hidup dalam satu komunitas sosial yang sama sebagai satu bangsa dan negara.

Filsuf kenamaan, Haideger mengingatkan: “Language is the house of being”. Bahasa adalah rumah kemanusiaan; tempat seseorang memahami diri dan orang lain. Bahasa adalah rumah di mana orang merasa aman dan damai karena tutur dan sikap yang beretika; saling menghargai sebagai manusia. Bahasa adalah kekuatan yang bisa membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa yang hidup dalam satu rumah yang sama, Negara Republik Indonesia, jika selalu dijaga.

Seorang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hidup dalam komunitas sosial. Dia dimandatkan oleh rakyat tidak hanya melaksanakan tritugasnya: menghasilkan undang-undang, budgeting dan pengawasan. Tapi juga menjaga dan menghargai marwah dan martabat rakyat yang telah memilihnya melalui tutur kata penuh kebijaksanaan. Lisan yang ceroboh dan kata-kata kotor; jauh dari etika bisa lahirkan emosi dan amarah, delegitimasi dan ledakan aksi anarkis.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More