
“Wiwi Jaga Weki”, Mulut Jaga Badan: Sebuah Filosofi Ketika Lisa Jauh dari Etika
Oleh Dionisius Ngeta, Koordinator YASBIDA / Panti Santa Dymphna
SAAT demonstrasi massa pecah dan meluas akibat sikap dan lisan anggota dewan, saya teringat akan filosofi kami di kampung: “Wiwi jaga weki” (Mulut jaga badan) dan peribahasa ini: Mulutmu Harimaumu. Filosofis dan peribahasa ini memiliki pengertian yang sama bahwa tutur kata atau perkataan yang diucapkan bisa menjadi “senjata tajam” yang dapat menusuk rasa dan melukai hati seseorang bahkan diri sendiri, jika tidak dijaga. Ia dapat berubah menjadi peluru dan bom yang bisa meledakan sikap anarkis dan berdampak pada kematian.
Demo berujung anarkis dan kematian beberapa hari lalu menjadi sebuah sejarah yang perlu dicatat dan pembelajaran bersama. Mereka (pejabat) yang karena mandat dan kepercayaan masyarakat mendapatkan posisi dan jabatan terhormat mesti lebih bijak dalam memilih kata dan arif dalam berbicara. Ketika tutur jauh dari etika sosial maka amarah dan amukan massa bisa membara dan anarkis bisa terjadi. Kerusakan fasilitas, sarana prasarana bahkan kematian bisa tak dielakan.
Setiap lisan tidak sekedar kata yang diucapkan. Kata-kata yang terujar tidak sekedar deretan kalimat tanpa makna dan pesan. Yang terucap juga tidak sekedar hak untuk mengeluarkan keinginan dan pendapat. Kata-kata yang terlontar dan kalimat yang terujar tidak berada pada ruang hampa tanpa komunikan. Dia akan menggema di ruang dengar par pendengar. Beresonansi dan amplifikasi sangat mungkin terjadi apalagi di era digitalisasi saat ini.