
Transisi Energi, Tapi Bukan Transisi Keadilan
Oleh Pascual Semaun, SVD, Misionaris Indonesia bekerja di Paraguay, Amerika Latin
Jeritan Tanah dan Kehidupan yang Terancam
Dalam pusaran kampanye global menuju energi bersih, masyarakat adat di Flores dan Lembata justru terjerat dalam penderitaan. Proyek panas bumi (geothermal) yang digembar-gemborkan sebagai simbol kemajuan dan keberlanjutan, dalam kenyataannya menimbulkan kerusakan ekologis, sosial, dan budaya yang mendalam.
Lebih menyedihkan lagi adalah cara masyarakat lokal diperlakukan dalam proses ini. Mereka dianggap “tidak tahu apa-apa” karena tidak menguasai bahasa teknis, tidak duduk di bangku universitas, atau tidak memiliki sertifikat keahlian. Pengetahuan lokal yang hidup dari pengalaman sehari-hari selama puluhan, bahkan ratusan tahun, dianggap tidak sah.
Ukuran kecerdasan dibatasi hanya pada kriteria pendidikan formal. Masyarakat setempat bukan sekadar menyaksikan perubahan tersebut, melainkan melihat dan mengalaminya secara langsung sebagai bentuk degradasi, kehancuran, dan malapetaka.
Pembangunan yang Mengabaikan Martabat Manusia dan Alam
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015) dengan sangat jelas menyatakan
bahwa kita harus menghargai dan belajar dari kearifan masyarakat adat dalam menjaga bumi.
Ia menulis: “Tanah bagi mereka bukanlah objek ekonomi, melainkan warisan hidup yang
mengikat identitas dan keberadaan—suatu ruang suci tempat mereka berinteraksi, menopang
nilai-nilai dan jati diri mereka.” (Laudato Si’, 146).