Tanggapan Paus Leo XIV atas Surat Terbuka Presiden Burkina Faso Ternyata Palsu, Hasil Rekayasa Artifisial Intelijen
Izinkan saya berbicara dengan lugas, seperti yang Anda lakukan, Presiden Traoré, tentang warisan kolonial. Anda menyinggung rantai, bukan hanya rantai yang mengikat tubuh nenek moyang kita, melainkan juga rantai tak kasat mata yang mencengkeram jiwa Afrika. Marilah kita berbicara kebenaran, bukan sebagai musuh, melainkan sebagai manusia yang dibebani kenangan. Kolonialisme bukan hanya penaklukan politik; ia adalah pengkhianatan spiritual. Ia bukan hanya pencurian tanah, tetapi juga upaya penghapusan identitas. Seluruh peradaban, dengan puisi, peribahasa, kosmologi, dan ritme sucinya, dibungkam di bawah bendera dan dewa asing.
Para misionaris, beberapa di antaranya tulus, datang dengan salib di satu tangan, tetapi di belakang mereka terdapat kapal-kapal perang, pedagang, dan gubernur dengan kontrak dominasi. Bak baptis berdiri berdampingan dengan cambuk. Injil dikumandangkan, sementara pedang bertebaran. Kisah Kristus yang datang untuk membebaskan terlalu sering diceritakan dalam bahasa kekuasaan. Dan meskipun banyak misionaris mengorbankan hidup mereka, dan beberapa menentang kekuasaan kerajaan, kebenarannya tetap ada: Gereja tidak selalu berdiri bersama dengan yang tertindas; terlalu sering ia berdiri bersama penakluk. Saya mengakui hal ini bukan sebagai perhitungan politik, melainkan sebagai perhitungan moral. Karena jika Gereja ingin mencerminkan Kristus, ia harus menangis di tempat Kristus akan menangis. Dan tentu saja, Dia menangis atas apa yang dilakukan atas nama-Nya di tanah Afrika.