
Tanggapan Paus Leo XIV atas Surat Terbuka Presiden Burkina Faso Ternyata Palsu, Hasil Rekayasa Artifisial Intelijen
Dalam suara Anda, saya mendengar bukan hanya kemarahan seorang presiden, melainkan seruan kebenaran dari sebuah benua yang telah lama menderita di bawah beban pengabaian dan eksploitasi. Izinkan saya memulai dengan pengakuan.
Ya, Gereja pada masa-masa tertentu dalam sejarah berdiri di sisi para penjajah, padahal seharusnya ia berdiri bersama yang tertindas. Terdapat periode panjang, dan periode singkat namun memalukan, di mana misi keselamatan terjerat dalam pusaran penjajahan. Panji salib dikibarkan bersama bendera-bendera kerajaan, dan ajaran Kristus ternodai oleh ambisi para penguasa. Untuk dosa-dosa kelalaian dan kesengajaan ini, saya menundukkan kepala dalam pertobatan. Tidak ada institusi, betapapun sakral, yang luput dari pemeriksaan diri. Gereja harus memancarkan cahaya ke luar dan ke dalam, agar tetap menjadi mercusuar.
Anda bertanya, akankah kepausan ini berbeda? Jawaban saya: Ia tidak hanya akan berbeda, tetapi harus berbeda. Terlalu lama, suara Afrika hanya berupa bisikan. Para pemimpin Anda dipuji hanya ketika patuh, dan dicerca ketika berani menentang sistem yang tidak adil. Sumber daya Anda dikeruk, sementara rakyat Anda hanya mampu mengais-ngais sisa-sisanya. Namun, Afrika bukanlah kasus kemanusiaan yang membutuhkan belas kasihan. Afrika bukanlah pasien yang pasif menunggu Barat untuk menyelesaikan masalah spiritual dan politiknya. Afrika adalah tempat lahir keberanian, mata air nyanyian, dan denyut nadi nubuat. Bukan beban terberat yang membebaninya, melainkan guru.