Tanah Air Kita, Tanah Surga?

Oleh Dionisius Ngeta (Asal Nangaroro-Nagekeo, Tinggal Di Maumere)

Harapan dan cita-cita bukan tanpa tantangan dalam perjalanan sebagai bangsa dan negara. Indonesia Raya, “tanah surga” masih menyisahkan tantangan. Persoalan seperti fanatisme, radikalisme dan terorisme selalu tumbuh di tengah kebebasan dan keragaman agama yang mengakui bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan, apalagi merampas hak Tuhan mencabut nyawa sesama manusia tak berdosa.

Wajah tanah air kita, “tanah surga” dan “kolam susu” sering menjadi “neraka” yang mencekam dan kolam berlumuran darah yang menyisahkan ketakutan pada anak-anak bangsa akibat fanatisme, premanisme, radikalisme dan terorisme. Korupsi, kolusi, nepotisme, ketidakadilan, diskriminasi, mafia, pelangaran HAM, masih menjadi “neraka” yang seram karena berdampak pada kemiskinan dan kesengsaraan anak-anak bangsa di tengah tanah air kita, “tanah surga”.

Ketika merdeka tahun 1945, Indonesia “tanah surga” memasuki era berbenah. Namun memasuki era Orde Baru, Indonesia “tanah surga” digenggam dan kuasai oleh seorang penguasa tunggal, Soeharto. Selama 30-an tahun Demokrasi Pancasila hanya sebuah pajangan yang kian usang dimakan usia.

BACA JUGA:
Peran Serta Masyarakat dalam Memerangi Korupsi
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More