Tambang dan Perselingkuhan
Bernadinus Steni, Pegiat standar keberlanjutan. Tinggal di Jakarta
TAMBANG kita sudah tahu, apa rupa dan bentuknya. Sebagian besar debat tambang hari ini bicara tambang dari aspek teknis.
Selingkuh lain lagi. Isinya lebih abstrak, amat berbeda dari hitung-hitungan teknis dan statistik lingkungan. Konon dari kata selingan dan kukuh atau kekeuh alias hasrat. Dus..Selingan yang penuh hasrat.
Tambang dan perselingkuhan, apa pula urusannya? Begini. Menduduki suatu jabatan publik tidak mudah. Interaksi dengn si anu dan si ono punya implikasi.
Selera naik. Tas, sepatu, arloji, pakaian bahkan pulpen pun branded. Tidak hanya itu. Selera dapur juga ikut tambah kelas. Menu makan lebih lengkap.
Kalau dulu, ikan kering saja barangkali cukup. Sekarang harus pakai daging, susu, vitamin biar prima, dan macam-macam ongkos tambahan lainnya. Singkatnya, biaya dapur membengkak.
Ikut pula dalam daftar itu adalah biaya sosial. Keluarga istri, keluarga besar, dan keluarga-keluarga lainnya ikutan jadi pejabat. Semua selera mereka naik.
Biaya sosial juga melebar pada perilaku. Lebih wangi, “dendy” dan necis. Tidak peduli usia sudah kepalang tua, tetap pake poles muka. Rambut dicat, kadang pake tato buat menutupi botak.