TA ON DUC ME
Betapa tidak. Kala itu, perang saudara berkecemuk di Vietnam, antara Utara dan Selatan, seperti Kain dan Habel. Kebencian seakan menjadi warna hidup, hanya karena perbedaan ideologi, antara kapitalis dan komunis di antara anak bangsa.
Akibatnya Vietnam bagai neraka. Di sana hanya ada cuaca duka, sebab deru bom membahana dalam hitungan detik, menggempur di mana saja; melibas pa saja. Di sana maut seakan tidak lagi ada jadwal untuk merenggut setiap jiwa sesuai buku kehidupan, karena setiap detik ribuan nyawa melayang tanpa sebab. Vietnam bagai kubur tanpa lobang, karena di atas hamparan tanah, jasad-jasad tergeletak. Tidak ada lagi sapaan kasih requescat in pace ( beristirhatlah dalam damai) kepada mereka yang meninggal, karena setiap orang berlari mencari perlindungan kalau-kalau bisa lolos dari moncong maut.
Badai kehidupan seperti itulah membuat siapa saja yang kebetulan lolos dari maut berjuang melintasi dahsyatnya Laut China Selatan, dengan harapan ada saudara yang masih bisa memberi mereka harapan. Namun ternyata tidak semua. Dari puluhan juta orang yang berlari mencari suaka, sepertiga ditangkap dan dibawa kembali untuk disiksa di camp-camp konsentrasi. Sepertiga harus menyerah di atas amukan gelombang dan memilih disiksa dan dicabik oleh hiu-hiu ganas. Dan sepertiganya lagi pada akhirnya boleh selamat karena mendarat di tempat-tempat yang masih mencintai kehidupan, termasuk sebidang tanah di Indonesia kala itu, yang kini dikenal dengan nama Pulau Galang.