
Solidaritas yang Hilang: Membaca Budaya Dodo dan Dunia Modern dalam Perspektif Emile Durkheim
Oleh Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Dalam masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah budaya yang lazim disebut Dodo. Budaya ini merupakan bagian dari bentuk praktik gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Biasanya, praktik ini dilakukan ketika ada anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk menyelenggarakan acara adat atau menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. Dalam momentum seperti itu, orang-orang datang membantu dengan tulus (tanpa pamrih), mengerahkan seluruh tenaga, waktu, dan bahkan sumber daya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Realitas semacam ini hemat penulis dapat menjadi bentuk konkret dari solidaritas sosial yang kuat. Bahwasannya tidak ada sistem kontrak atau imbalan yang dituntut di dalamnya, sebab semuanya lahir dari kesadaran kolektif masyarakat itu sendiri.
Oleh sebab itu, Dodo sejatinya bukan hanya sekadar menjadi wujud kegiatan sosial semata, melainkan jalinan hidup bersama yang mencerminkan identitas komunitas. Dalam konteks ini, Emile Durkheim, seorang sosiolog asal Perancis telah membahasakan hal itu sebagai solidaritas mekanik. Ini merupakan bentuk solidaritas sosial yang didasarkan pada kesadaran kolektif, pekerjaan, nilai dan keyakinan yang relatif sama. Kesamaan itulah yang kemudian menumbuhkan ikatan emosional dan relasi sosial yang erat di antara mereka. Lantas, tidak mengherankan jika dalam budaya Dodo, orang bisa saling membantu, lantaran mereka merasa menjadi bagian dari satu tubuh sosial yang sama.
