
Solidaritas yang Hilang: Membaca Budaya Dodo dan Dunia Modern dalam Perspektif Emile Durkheim
Oleh Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
PADA hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Sejak awal keberadaannya, ia tidak pernah hidup sendirian. Ia akan selalu bertumbuh dan berkembang di dalam ruang interaksinya dengan sesama manusia lainnya. Lantas, di dalam proses dinamika interaktif itulah kita dapat melihat munculnya pelbagai nilai, norma, dan budaya yang menopang kehidupan bersama.
Akan tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa realitas dunia saat ini dengan segala bentuk kemajuannya telah melunturkan semangat kebersamaan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta gaya hidup yang semakin modern turut menghadirkan realitas ganda di hadapan manusia. Di satu sisi, manusia semakin terhubung secara digital—tetapi di sisi lain, manusia juga semakin terasing secara emosional. Alih-alih dapat merasa dekat dengan orang lain yang berada di belahan negara yang berbeda, manusia justru teralienasi dari ruang interaksi dengan sesama yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini, yang jauh serasa dekat, dan yang dekat serasa semakin menjarak. Maka, tidak mengherankan jika realitas semacam ini lambat laun berpotensi pada merebaknya sikap individualisme di kalangan masyarakat masa kini. Realitas sosial yang sebelumnya penuh dengan kehangatan interaksi kini bergeser menjadi komunikasi instan yang cenderung hambar dan tanpa makna. Orang lebih merasa nyaman untuk menyendiri, fokus pada pekerjaannya sendiri, dan tidak peduli pada hal-hal lain yang terjadi di luar dirinya (baca: sesama). Padahal sebagai makhluk sosial, toh manusia tercipta untuk hidup dalam kebersamaan dan keterikatan dengan sesama. Lantas, kita perlu bertanya: ke manakah perginya nilai solidaritas itu? Persis, pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh penulis bertolak dari konsep solidaritas Émile Durkheim dalam membaca budaya Dodo orang Manggarai dan budaya dunia modern yang cenderung individualistis.