
Solidaritas dalam Keragaman: Visi Masyarakat Inklusif Paus Fransiskus
Oleh Yovita Daud, Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
DI TENGAH hiruk pikuk dunia yang terus-menerus diguncang oleh berbagai konflik dan ketidaksetaraan, Paus Fransiskus hadir sebagai salah satu suara paling lantang yang menyerukan pentingnya solidaritas dan inklusivitas. Visi beliau melampaui batas-batas doktrin agama, menyentuh inti kemanusiaan yang universal: menciptakan masyarakat yang menerima dan merangkul setiap individu, tanpa memandang latar belakang, keyakinan, atau kondisi mereka.
Inti dari visi Paus Fransiskus adalah penolakan terhadap “budaya buang” (the culture of throwaway). Beliau berulang kali mengingatkan kita bahwa tidak ada satu pun manusia yang boleh dianggap sebagai “barang sisa” atau “beban” bagi masyarakat. Setiap orang memiliki martabat yang melekat dan kontribusi unik yang bisa diberikan. Budaya ini, menurutnya, adalah akar dari banyak masalah sosial, mulai dari ketidakadilan ekonomi hingga perlakuan diskriminatif terhadap kelompok rentan seperti lansia, disabilitas, atau pengungsi.
Untuk melawan budaya ini, Paus Fransiskus mengusulkan model masyarakat yang dibangun di atas fondasi solidaritas yang otentik. Solidaritas, dalam pandangannya, bukanlah sekadar tindakan amal atau belas kasihan sesaat. Solidaritas adalah pengakuan mendalam bahwa kita semua saling terhubung, bahwa penderitaan satu orang adalah penderitaan kita semua. Solidaritas menuntut kita untuk berempati, memahami, dan bertindak bersama untuk memperbaiki ketidakadilan.