
Sarkastis Komunikasi di Ruang Publik (Berkaca Pada Dinamika Sidang Paripurna DPRD Sikka)
Dionisius Ngeta (Warga Masyarakat Sikka, Tinggal Di Nangahure Bukit)
Etika berbahasa ini berkaitan erat dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Saya percaya bahwa masyarakat Sikka adalah masyarakat berbudaya, yang memiliki etika berbahasa. Etika berbahasa itulah yang akan “mengatur” kita dalam hal: Pertama, apa yang harus dikatakan kepada komunikan pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat. Kedua, ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu. Ketiga, kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela atau menginterupsi pembicaraan orang lain. Keempat, kapan kita harus diam, mendengar tuturan orang. Kelima, bagaimana kualitas suara kita apakah keras, pelan, meninggi, dan bagaimana sikap fisik kita di dalam berbicara itu. Seseorang baru dapat dikatakan pandai berbahasa apabila dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu.
Akhirnya, dapat dinyatakan bahwa komunikasi dan diskusi apalagi sebagai seorang politisi dan eksekutif memerlukan kesantunan berbahasa. Pemilihan strategi kesantunan yang tepat dalam komunikasi (politik), akan dapat saling bisa menjaga muka, baik diri sendiri maupun orang lain, tanpa menghilangkan substansi yang menjadi persoalan pokok pembahasan di ruang “Kulababong”/Parlemen selain juga dapat membantu menciptakan citra elegan di mata masyarakat. Sarkasmes politik politisi bukan solusi untuk selesaikan masalah publik. Tapi justru merendahkan marwah dan martabat sebagai lembaga terhormat dan manusia berbudaya.***