Pembodohan dalam Kemasan
Walaupun memori kita mungkin sangat terbatas, namun kita masih mengingat kesamaan intensi dan content yang sedang digulirkan dalam Sare Dame dengan Festival Tiga Gunung yang pernah diselenggarakan bupati Eliazar Yentji Sunur (alm). Melalui video singkat ataupun foto-foto peserta festival yang tersebar melalui media social, kita saksikan pemerintah desa, tokoh masyarakat, rakyat kebanyakan, menyalakan lilin, berdiri dalam tiga lingkaran yang saling berisan, untuk menggambarkan kurunan hidup rakyat Lembata di bawah naungan tiga gunung masing-masing gunung Uyelewun, Gunung Ile Lewotolok dan Gunung Labalekan. Kegiatan simbolis ini dianggap sebagai sebuah penghormatan budaya yang dijaga dan dilestarikan masyarakat.
Program Eksplorasi Budaya Lembata juga dilatarbekakangi pemikiran yang sama. Tanpa ada usulan dari masyarakat, tokoh adat, atau wakil rakyat, bupati mengajukan program ini dan tanpa disangka menjadi program prioritas untuk harus diselesaikan dalam sebuah kegiatan dari 7 Februari sampai dengan 7 Maret 2022.
Uraian ini bagus kalau dilihat dari kecurigaan menempatkan Sare Dame sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan. Tapi bagaimana kalau kita menempatkan eksplorasi budaya Sare Dame ini sebagai suatu kegiatan eksplorasi budaya yang dilaksanakan karena sesuai dengan nomenklatur yang telah ditetapkan DPRD Lembata dalam rangka pemajuan kebudayaan sesuai dengan UUD 45, Pasal 32, ayat.2, dan UU No.5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan daerah dan nasional?