ROMO KAREL JANDE DALAM NARASI TOROK
Hahahahahaha, nia setu’un koe tombo gho ta de (= yang benar dikit e).
Ta Gerard, ngancet tombo mbamba leso nenggo’o ko (= masa’ bohong di usia begini). Sudah tua kita e.
Serempak daler (= tawa) kita berdua sejadi-jadinya memecah langit mendung Jakarta sore itu.
Lalu engkau bercerita tentang neoliberalisme dalam pendidikan pada umumnya, termasuk dalam pendidikan katolik. Aku mendengar sekenanya dari awal tapi lama-lama semakin terpana, layaknya seperti engkau mengantarku ke dasar samudera sembari mengagumi keindahan tak terkira dan misteri-misterinya. Amazing, temanku.
Engkau berkata, pendidikan kita sudah terjerembab dalam salah satu cara berpikir neoliberal di mana para pemberi membutuhkan mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin adalah jalan memperbanyak pemberian. Orang miskin adalah lahan subur untuk menanam kasih sayang. Aku tidak suka!
Segeralah saat itu juga aku paham bahwa engkau tidak turut menikmati bermain logika dan simulasi neoliberal itu. Engkau transenden, temanku, pastorku. Engkau transenden dari pola-pola adegan neoliberal itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata. Bahwa alangkah indahnya sekolah-sekolah tidak berpikir harus ada murid bodoh dan miskin dulu, barulah sekolah-sekolah dan universitas merasa diri amat berperan, melebihi kekuasaan Tuhan.