Resesi Ekonomi Regional 1998
Ketika jadi mahasiswa pada 1998, saya merasakan betapa Yogyakarta sebagai sebuah ekonomi regional terjebak oleh resesi. Resesi kala itu lebih lazim disebut krisis moneter yang disingkat ‘krismon’.
Gegara aksi para spekulan mata uang di pasar uang Asia, Rupiah yang terpuruk mengacaukan daya beli mahasiswa di Yogyakarta. Nasi tempe sebagai makanan yang murah meriah dalam dua tiga hari menjadi ‘makanan elit’.
Hari ini harga nasi tempe Rp350,- besoknya, nasi tempe sudah Rp 700,- dan lusanya harga sepiring nasi tempe itu menjadi Rp1.250,-. Itu baru contoh resesi ekonomi regional yang menyinggung makanan sebagai kebutuhan pokok ( primary goods).
Dlihat dari efek domino keterpurukan rupiah 1998, tendensi pasar di daerah-daerah tidak lain ialah kenaikan harga barang dan jasa alias inflasi.
Inflasi ini karena adanya pembengkakan biaya produksi dari para produsen (cost push inflation). Produsen yang menggunakan mesin-mesin impor atau jasa- jasa impor benar-benar kelabakan dan mengamini biaya produksi yang tinggi untuk mempertahankan asap dapur.