Rasa Bangga, Malu Dalam Percakapan Tatap Muka, Serta Dampaknya Terhadap Kesehatan

Oleh: Yustinus Suhardi Ruman*

Supaya interaksi sosial tetap berjalan dengan baik, individu menyembunyikan atau menekan rasa malu dalam kesadarannya atau berusaha mengabaikannya.  Dalam kondisi seperti ini orang bermain peran sebagai orang yang ceria, cerdas, penuh percaya diri dan berbagai peran yang diasumsikannya diterima oleh orang lain. Namun dalam hatinya ia merasa bodoh, tidak cukup, cacat, dan seterusnya. Scheff menjelaskan bahwa orang dalam kondisi seperti ini ucapannya cenderung berhati-hati, suaranya pelan, juga terburu-buru, wajah mudah tersipu, atau bahkan berlebihan dalam mengucapkan sesuatu.

Siklus Rasa Malu dan Kemarahan

Scheff menjelaskan, menekan rasa malu, menyembunyikannya, atau mengabaikannya dapat menjebak atau mengunci orang dalam siklus rasa malu, lalu kemudian marah. Rasa malu yang ditekan atau ditolak menimbulkan kemarahan dan permusuhan.

Seterusnya, kemarahan atau permusuhan yang didorong oleh rasa malu akan menghasilkan lebih banyak rasa malu. Semakin banyak rasa malu, semakin banyak pula peluang untuk marah dan menciptakan permusuhan.  Siklus semacam ini kemudian dapat berlangsung seumur hidup, dan bahkan dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Uraian Scheff tentang rasa malu dengan demikian berdampak langsung pada pada kesehatan diri dan sosial.

BACA JUGA:
Sensasi dan Substansi Demokrasi dalam Pilkada Manggarai
Berita Terkait
1 Komen
  1. joe andre berkata

    Opening film ini yang menarik om 😆

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More