Puisi-Puisi Tinyo Tali Meta “Lonceng Gereja”
Pagi sekali masih mendiami dirinya dan terus berkubang di tembok rumah berbatu zaman dulu. Enggan sekali mengangkat kaki meskipun datang usikan sinar surya yang masih muda mengkilat.
Rintikan hujan yang tipis seperti potongan benang putih yang disiram tanpa sengaja dari mulut langit, lama kelamaan menjadi tebal, di antara kumis rerumputan yang basah membungakan kesegaran.
Lolongan anjing memanjang di sayap udara, seolah-olah mau mengagetkan kunjungan dingin yang terlalu tergesa-gesa, semakin mengental di halaman kediaman yang menyendiri, kebisuannya merangkul-rapatkan tubuh yang perlahan-lahan melepaskan kepergian musim panas yang menggembirakan.
Jam dinding tergantung di kamar bujang, napasnya masih naik turun, persisnya waktu telah menunjukkan telunjuk pendek di atas mentari yang sedang menguning di atas kepala, tapi dingin telah menorehkan jari-jarinya di sum-sum dada.
Jeritan anjing kecil digigit tenggelam di antara kuping yang terapung jauh, menangkap panjang dan nyaring suaranya, tak pernah dijumpai pencarian ekor dingin yang telah terhanyut dan dibawa pergi dalam kekosongan. (Santiago de Anaya, 05/09/2020).