
Pram Bersuara Lagi: It’s Not An All Night Fair
Oleh: Yosep Bala Makin, SVD (Penulis tinggal di Paroki St. Yusuf Raba-Bima)
Pram adalah seorang sastrawan besar. Karena kreativitasnya dalam menulis karya sastra, Pantas, Pram banyak mendapat hadiah, anugerah, dan penghargaan. Pram terpilih sebagai salah seorang penerima Freedom to Write Award yang diadakan PEN America Center. Tapi saat penghargaan itu akan diberikan pada 27 April 1988, Pram tak dapat hadir. Pada 19 Juli 1995, Yayasan Penghargaan Ramon Magsaysay menetapkannya sebagai orang ke-10 Indonesia yang pantas menerima Ramon Magsaysay Award. Tapi penghargaan tersebut diterimanya secara in absentia lantaran dirinya dilarang bepergian ke luar negeri oleh rezim saat itu. Pram adalah pengarang besar Indonesia. Nama, reputasi, kisah hidup, dan karya-karyanya sudah berkelana ke manca negara. Patut dibanggakan. Bukan hanya soal sastra saja tetapi juga budaya dan pemikiran intelektual.
Pada tahun 2001, Pram bersuara lagi dengan mempertanyakan kembali larangan peredaran buku-bukunya oleh pemerintahan Soeharto yang belum dicabut hingga pemerintahan Abdurrahman Wahid pada peluncuran bukunya yang berjudul It’s not an All Night Fair, yang merupakan terjemahan Inggris novel pendeknya, ’Bukan Pasar Malam’. Pram membuka suara lagi karena ia tidak dapat mengerti mengapa pemerintahan Indonesia belum mencabut larangan peredaran hampir semua bukunya yang dilakukan Orde Baru, ”Saya enggak ngerti, Pemerintah Indonesia kok suka merampas-rampas. Sudah tiga presiden memberlakukan pelarangan buku-buku saya dan belum mengembalikan rumah, perpustakaan, dan dokumentasi yang dirampas (pemerintahan Orde Baru).” Tiga presiden yang dimaksud adalah Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid. Pengakuan Pram, presiden ketiga bahkan sudah dua kali bertemu. Sekali di Istana Merdeka, tahun 1999, dan kedua, tahun 2000 di kediaman Pramoedya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur.