Pram Bersuara Lagi: It’s Not An All Night Fair
Oleh: Yosep Bala Makin, SVD (Penulis tinggal di Paroki St. Yusuf Raba-Bima)
Pada masa kejatuhan Partai Komunis Indonesia, Pram dibuang ke pulau Buru karena dianggap terlibat PKI yang saat itu hendak menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1960. Ketika terjadi penangkapan terhadap dirinya, ia mendapatkan penyiksaan. Setelah itu ia dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun ia hidup di pengasingan Pulau Buru. Karyanya yang ditulis selama di Pulau Buru dilarang diedarkan oleh Kejaksaan Agung. Setelah rezim Orde Baru jatuh (1998), Pram dibebaskan dari pengasingan di Pulau Buru. Pram yang mengarang sejak tahun1940-an telah menghasilkan banyak karya sastra: cerpen, novel, esai, dan karya terjemahan. Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan dalam bahasa asing: Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Rusia, dan Jepang.
Maka, wajar sekali Pram adalah penulis besar di dunia sastra. Pram dikenal sebagai penulis sejarah sastra Indonesia. Ilmu sastra yang sudah dipelajari dan digeluti ketika sebagai dosen telah membentuk Pram sebagai penulis yang berani menulis untuk bangsanya. Keberaniannya itu terungkap dari katanya sendiri, ”Dalam hidup ini, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” Hidup dalam situasi kolonial perlu keberanian untuk melawan demi kemerdekaan dan hak azazi manusia. Tidak cukup dengan mengangkat senjata untuk melawan kolonial tetapi dengan tulisan bernuansa imajinatif, sastra untuk bisa menyentuh situasi sosial yang dialami bangsa Indonesia. Pram punya keberanian mengeritik bukan saja menyangkut situasi sosial dan politik saat itu, tetapi juga mengeritik pribadi yang sedang berkuasa. Maka dalam bukunya ’Bumi Manusia’ Pram menulis, ”Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.” Kritik tajam untuk mereka yang memiliki kuasa dan dengan kuasa itu untuk mengumpulkan kekayaan jadi kekayaan pribadi dan keluarga. Kecintaannya terhadap bangsanya terpancar kuat dari karya-karya besar dan banyak jumlahnya. Karya-karyanya berhasil menyentuh situasi sosial dan politik yang terjadi di republik ini. Dunia sastra telah membentuknya sehingga dengan gampang pula Pram berkata, ”Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Betapa Pram mengakui kekuatan ilmu kesusastraan yang sudah mendarah-daging padanya. Sastra sebagai karya imajinatif tidak pernah terpisahkan dari situasi di mana pengarang itu hidup. Seolah hanya Pram pemilik sastra Indonesia karena ia pencinta sastra melebihi yang lain yang terbaca dari karya-karyanya. Ia tidak pernah berhenti menghasilkan karya-karya besar belum termasuk sebagian naskah yang hendak diterbitkan ludes dibakar.