Poro Duka yang Malang dan Duka yang Terlupakan
Umbu Tamu Ridi, Kepala Divisi Advokasi dan Kajian Hukum WALHI NTT
Tentu kita tidak ingin ada Poro Duka Lain, dan kepada pemimpin di daerah, elit-elit yang memiliki kuasa, agar tidak membiarkan pasar gelap jual beli tanah dengan berbagai modus janji, hadiah, dan iming-iming lain yang menggiurkan rakyat pemilik tanah terjadi secara bebas, Makelar (baca perantara) dan investor dengan berbagai macam latar belakang dan sumber daya ekonomi yang besar juga kekuasaan secara sosial bernegosiasi langsung dengan masyarakat pemilik tanah yang minim semua sumber daya, tentu ini timpang, dan banyak ditemui transaksi jual beli tanah yang timpang dan permainan harga yang tidak adil.
Pada titik ini, sangat cukup beralasan pemerintah di daerah menyiapkan skema evaluasi, peraturan daerah atau sejenisnya yang secara khusus mengatur mengenai standar pembatasan luasan tanah yang akan dijual, dan harga yang berkeadilan. Selain itu, perlu langkah antisipasi, oleh rakyat dan tentu semua pihak yang berkepentingan, terkait berbagai modus perampasan tanah.
Sebagai masyarakat sipil harus tetap resisten atas upaya-upaya kriminalisasi, hingga upaya-upaya pelemahan gerakan perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah, apa lagi dengan menguatnya konsolidasi kepentingan ekonomi melalui pembentukan (Omnibus Law) Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang minim elemen perlindungan sosial dan mengedepankan pendapatan dan kemudahan investasi, dibanding keberlanjutan hidup manusia dan wilayah kelolanya.