Penjualan Tanah dan Krisis Identitas; Perspektif Rerum Novarum
Oleh Putriani Sulastri Bahagia, Mahasiswi STIPAS St. Sirilus Ruteng
Petani kecil di Labuan Bajo yang merasa terdesak untuk menjual tanah mereka karena harga yang ditawarkan oleh investor jauh melampaui nilai tanah secara ekonomi lokal. Di satu sisi, ini dianggap sebagai peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Namun, di sisi lain, penjualan tanah ini memunculkan masalah jangka panjang, seperti hilangnya akses masyarakat lokal terhadap lahan pertanian dan sumber daya alam. Tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi generasi mendatang kini berubah menjadi komoditas dalam bisnis pariwisata global. Dampaknya sangat terasa pada komunitas-komunitas adat yang tanahnya merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.
Sebagai contoh, masyarakat adat Manggarai memiliki keterikatan spiritual yang mendalam dengan tanah mereka, di mana tanah dilihat bukan hanya sebagai aset ekonomi, tetapi juga sebagai warisan leluhur yang menghubungkan mereka dengan sejarah dan tradisi panjang komunitas mereka. njualan tanah yang terjadi di Labuan Bajo dan sekitarnya bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal identitas dan keberlanjutan budaya. Bagi banyak masyarakat lokal, tanah bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga simbol hubungan mereka dengan leluhur, adat, dan alam. Kehilangan tanah berarti kehilangan bagian penting dari identitas komunitas mereka. Hal ini mengingatkan pada konsep yang diusung oleh ensiklik Rerum Novarum, yang menekankan pentingnya tanah sebagai bagian dari martabat manusia dan kehidupan komunitas.